
1. Keutamaan Bulan Ramadhan[1]
Sangat jelas dan gamblang keutamaan Romadhon dibanding
bulan lainnya, namun kiranya masih perlu dipaparkan secara ringkas
keutamaannya sebagai motivator semangat kaum muslimin beramal sholeh
padanya. Diantara keutamaan tersebut adalah:
a. Bulan Ramadhan adalah bulan Alquran karena Alquran diturunkan pada bulan tersebut sebagaimana firman Allah ::
شَهْرُ
رَمَضَانَ الَّذِي أُنزِلَ فِيهِ الْقُرْءَانُ هُدًى لِّلنَّاسِ
وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ الشَّهْرَ
فَلْيَصُمْهُ
“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan
Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Alquran sebagai
petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu
dan pembeda (antara yang hak dan yang batil). Karena itu, barangsiapa di
antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, hendaklah
dia berpuasa.” (Surat Albaqarah ayat 185)
Dalam ayat di atas, bulan Ramadhan dinyatakan sebagai bulan
turunnya Alquran, lalu pernyataan tersebut diikuti dengan perintah yang
dimulai dengan huruf <ف> –yang berfungsi menunjukkan makna ‘alasan dan sebab’– dalam firmanNya: <فََمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ>.
Hal itu menunjukkan bahwa sebab pemilihan bulan Ramadhan sebagai bulan
puasa adalah karena Alquran diturunkan pada bulan tersebut.
b. Dalam bulan ini, para setan dibelenggu, pintu neraka ditutup, dan pintu surga dibuka sebagaimana sabda Rasulullah ,
« إِذَا جَاءَ رَمَضانُ فُتِحَتْ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ النِيْرَانِ، وَصُفِّدَتِ الشَّيَاطِيْنُ »
“Jika datang bulan Ramadhan dibuka pintu-pintu surga dan ditutup pintu-pintu neraka serta dibelenggu para setan.” [2]
Oleh karena itu, kita dapati dalam bulan ini sedikit
terjadi kejahatan dan kerusakan di bumi karena sibuknya kaum muslimin
dengan berpuasa dan membaca Alquran serta ibadah-ibadah yang lainnya;
dan juga dibelenggunya para setan pada bulan tersebut.
c. Di dalamnya terdapat satu malam yang dinamakan lailatul qadar, satu malam yang lebih baik daripada seribu bulan, sebagaimana yang dijelaskan dalam surat al-Qadr.
إِ نَّآ أَنْزَلْنَهُ فِى لَيْلَةِ الْقَدْرِ وَمَآ أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌمِّنْ أَلْفِ شَهْرٍ
Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (al-Qur’an) pada
malam kemuliaan. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu?Malam
kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. (Surat Al Qadr ayat:1-3)
Melihat keutamaan-keutamaan ini tentunya
membuat seorang muslim lebih bersemangat dalam menyambutnya dengan
mempersiapkan diri sebaik mungkin menjelang datangnya bulan tersebut.
2. Persiapan Menghadapi Ramadhan
Diantara yang harus dipersiapkan seorang muslim dalam menyambut kedatangan bulan yang mulia ini adalah:
a. Menghitung bulan sya’ban
Salah satu bentuk persiapan dalam menghadapi Ramadhan yang
seharusnya dilakukan oleh kaum muslimin adalah menghitung bulan Sya’ban,
karena satu bulan dalam hitungan Islam adalah 29 hari atau 30 hari
sebagaimana yang dijelaskan Rasulullah dalam hadits Ibnu Umar, beliau
bersabda:
« الشَّهْرُ تِسْعٌ وَعِشْرُوْنَ لَيْلَةً، فَلا َتَصُوْمُوْا حَتَّى تَرَوْهُ، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوْا الْعِدَّةَ ثَلاَثِيْنَ »
“Satu bulan itu 29 malam. Maka jangan berpuasa sampai
kalian melihatnya. Jika kalian terhalang (dari melihatnya), maka
genapkanlah 30 hari.”[3]
Maka tidaklah berpuasa sampai kita melihat hilal (tanda
masuknya bulan). Oleh karena itu, untuk menentukan kapan masuknya
Ramadhan diperlukan pengetahuan hitungan bulan Syaban.
b. Melihat hilal Ramadhan (Ru’yah)
Untuk menentukan permulaan bulan Ramadhan diperintahkan untuk melihat hilal, dan itulah satu-satunya cara yang disyariatkan dalam Islam sebagaimana yang dijelaskan oleh an-Nawawi dalam al-Majmu’ (6/289-290) dan oleh Ibnu Qudamah dalam Al-Mughniy
(3/27). Dan ini merupakan pendapat Ibnu Taimiyah yang berkata, “Kita
sudah tahu secara pasti, Agama Islam beramal dengan melihat hilal dalam berpuasa, haji, atau iddah (masa menunggu), atau yang lainnya dari hukum-hukum yang berhubungan dengan hilal.
Adapun pengambilannya dengan cara mengambil berita orang yang
menghitungnya dengan hisab, baik dia melihatnya atau tidak, maka tidak
boleh.” [4]Demikian juga Ibnu daqiqil ‘Ied menyatakan: “Tidak boleh bersandar kepada hisab dalam menentukan puasa (Romadhon)”.[5]
Kemudian perkataan beliau ini merupakan kesepakatan kaum
muslimin. Sedang munculnya masalah bersandar dengan hisab dalam hal ini
baru terjadi pada sebagian ulama setelah tahun 300-an. Mereka mengatakan
bahwa jikalau terjadi mendung (sehingga hilal tertutup ) boleh bagi yang mampu menghitung hisab beramal dengan hisabnya, namun itu hanya untuk dirinya sendiri. Jika hisab itu menunjukkan ru’yah, maka dia berpuasa, dan jika tidak, maka tidak boleh.[6] Lalu, bagaimana keadaan kita sekarang?
Adapun dalil tentang kewajiban menentukan permulaan bulan Ramadhan dengan melihat hilal sangat banyak, di antaranya adalah:
1. Hadits Ibnu Umar terdahulu.
2. Hadits Abu Hurairah. Beliau berkata, “Rasulullah bersabda,
« صُوْمُوْا لِرُؤْيَتِهِ وَ أَفْطِرُوْا لِرُؤْيَتِهِ، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوْا شَعْبَانَ ثَلاَثِيْنَ »
“Berpuasalah kalian karena melihatnya dan berbukalah
kalian (untuk idul fithri) karena melihatnya. Jika (hilal) tertutup oleh
mendung, maka sempurnakanlah Syakban 30 hari.” (Riwayat al-Bukhariy dan Muslim).
3. Hadits ‘Adi bin Hatim, beliau berkata, “Rasulullah bersabda,
« إِذَا جَاءَ رَمَضَانُ فَصُوْمُوْا ثَلاَثِيْنَ إِلاَّ أَنْ تَرَوْا الْهِلاَلَ قَبْلَ ذَلِكَ »
“Jika datang Ramadhan maka berpuasalah 30 hari kecuali kalian telah melihat hilal sebelumnya.” [7]
Penentuan bulan Ramadhan dengan cara melihat hilal dapat
ditetapkan dengan persaksian seorang Muslim yang adil sebagaimana yang
dikatakan Ibnu Umar:
تَرَاءَى النَّاسُ اْلِهلاَلَ فأَخْبَرْتُ النَّبي أَنِّيْ رَأَيْتُهُ فَصَامَ وَأَمَرَ النَّاسَ بِصِيَامِهِ
“Manusia sedang mencari hilal, lalu aku khabarkan Nabi
bahwa aku telah melihatnya maka beliau berpuasa dan memerintahkan
manuasia untuk berpuasa.” [8]
c. Tidak berpuasa pada hari yang diragukan
Berpuasa pada hari yang diragukan, apakah sudah masuk bulan
Ramadhan atau belum, adalah terlarang sebagaimana di sebutkan dalam
hadits Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda,
« لاَ تُقَدِّمُوْا رَمَضَانَ بِصَوْمِ يَوْمٍ أَوْ يَوْمَيْنِ إِلاَّ رَجُلاً يَصُوْمُ صَوْمًا فَلْيَصُمْهُ »
“Janganlah mendahului puasa Ramadhan dengan puasa satu
hari atau dua hari (sebelumnya), kecuali orang yang (sudah biasa)
berpuasa satu puasa (yang tertentu), maka hendaklah dia berpuasa.” [9]
3. Amalan Di Bulan Romadhon.
Setelah terlihat hilal atau sempurna bulan
sa’ban, maka masuk dan datanglah bulan romadhon. Kaum muslimin mulai
melakukan kegiatan dan amal sholehnya dimalam dan siang romadhan.
Diantara amalan yang dilakukan seorang muslim adalah:
1. Qiyam romadhon ( Sholat tarawih).
Sholat taraweh disyariatkan dalam malam
romadhon baik secara berjamaah atau tidak berjamaah. Disamping itu juga
memiliki keutamaan besar yang dapat memotivasi seorang muslim
melaksanakannya.
1.1. Keutamaannya
Qiyam Ramadhan adalah menegakkan malam Ramadhan dengan ibadah solat. Amalan ini memiliki keutamaan-keutamaan bagi pelakunya, yaitu:
a. Mendapat pengampunan dari Allah sebagaimana sabda Rasulullah e:
« مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ »
“Barangsiapa yang menegakkan (malam-malam) bulan
Ramadhan dengan keimanan dan mencari keridhaan Allah, maka diampuni
dosa-dosanya yang telah lalu.”[10]
Lalu Rasulullah meninggal sedang perintah tersebut
(meninggalkan jamaah taraweh) masih berlaku, demikian juga pada masa
kekhalifahan Abu Bakar dan pertengahan kekhalifahan Umar sebagaimana
riwayat Muslim.
b. Mendapat keutamaan shiddiqin dan syuhada sebagaimana hadits Amr bin Murroh yang berbunyi:
جَاءَ
رَسُوْلَ اللهِ رَجُلٌ مِنْ قُضَاعَةَ فَقَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ
أَرَأَيْتَ إِنْ شَهِدْتُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَأَنَّكَ رَسُوْلُ
اللهِ وَصَلَيْتُ صَلَوَاتِ الْخَمْسَ وَصُمْتُ الشَّهْرَ وَقُمْتُ
رَمَضَانَ وَآتَيْتُ الزَّكَاةَ؟ فَقاَلَ النَّبِيُّ : « مَنْ مَاتَ عَلَى
هَذَا كَانَ مِنَ الصِّدِّيْقِيْنَ وَالشُّهَدَاءِ »
“Datang kepada Rasulullah seorang laki-laki Bani
Qudhaah, lalu berkata, ‘Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu jika aku
telah bersyahadat tiada sesembahan yang hak, kecuali Allah, dan
bersyahadat bahwa engkau adalah utusan-Nya, aku solat lima waktu, puasa
satu bulan (Ramadhan), dan aku telah menegakkan (malam-malam) Ramadhan
serta aku tunaikan zakat?’ Maka Rasulullah e bersabda, ‘Barangsiapa yang
mati atas hal ini, dia termasuk dalam (kelompok) shiddiqin dan
orang-orang yang syahid.’” [11]
1.2. Persyariatan qiyam ramadhan (sholat taraweh) dengan berjamaah
Disyariatkan berjamaah dalam pelaksanaan qiyam
Ramadhan. Bahkan berjamaah itu lebih utama disbanding tidak berjamaah,
karena Rasulullah telah melakukan hal tersebut dan menjelaskan
keutamaannya sebagaimana dalam hadits Abu Dzar:
صُمْنَا
مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَمَضَانَ فَلَمْ
يَقُمْ بِنَا شَيْئًا مِنَ الشَّهْرِ حَتَّى بَقِيَ سَبْعٌ فَقَامَ بِنَا
حَتَّى ذَهَبَ ثُلُثُ اللَّيْلِ، فَلَمَّا كَانَتِ السَّادِسَةَ لَمْ
يَقُمْ بِنَا فَلَمَّا كَانَتِ الْخَامِسَةَ قَامَ بِناَ حَتىَّ ذَهَبَ
شَطْرُ الَّليْلِ فَقُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ لَوْ نَفَلْتَنَا قِيَامَ
هَذِهِ الَّليْلَةِ، فَقَالَ: « إِنَّ الرَّجُلَ إِذَا صَلَّى مَعَ
الإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ حُسِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَةٍ »، فَلَمَّا
كَانَتِ الرَّاِبِعَةَ لَمْ يَقُمْ، فَلَمَّا كَانَتِ الثَّالِثَةَ جَمَعَ
أَهْلَهُ وَنِسَاءَهَ وَالنَّاسُ، فَقَامَ بِنَا حَتَّى خَشِيْنَا أَنْ
يَفُوْتًنَا الْفَلاَحُ. قَالَ: قُلْتُ: مَا الْفَلاَحُ؟ قَالَ:
السَّحُوْرُ، ثُمَّ لَمْ يَقُمْ بَقِيَةَ الشَّهْرِ
“Kami berpuasa bersama Rasulullah Ramadhan. Beliau
tidak melaksanakan qiyam (solat taraweh) bersama kami selama bulan itu
kecuali sampai tinggal tujuh hari. Saat itu, beliau tegak (solat
taraweh) bersama kami sampai berlalu sepertiga malam. Pada hari keenam
(tanggal 24) beliau tidak solat bersama kami. Baru kemudian pada hari
kelima (tanggal 25) beliau solat lagi (solat taraweh) bersama kami
sampai berlalu 1/2 malam. Saat itu aku berkata kepada beliau, ‘Wahai
Rasulullah, seandainya engkau menambah solat pada malam ini.’ Beliau
menjawab, ‘Sesungguhnya jika seseorang solat bersama imamnya sampai selesai, niscaya ditulis baginya amalan Qiyamul Lail.’
Lalu pada malam keempat (tanggal 26) kembali beliau tidak solat bersama
kami. Dan pada malam ketiga (tanggal 27), beliau kumpulkan keluarga dan
istri-istrinya serta manusia, lalu menegakkan (malam tersebut) bersama
kami sampai kami takut kehilangan kemenangan.” Berkata (rawi dari Abu Dzar), “Aku bertanya, ‘Apa kemenangan itu?’ Beliau (Abu Dzar) menjawab, ‘Sahur. Kemudian beliau e tidak menegakkannya setelah itu.” [12]
Sedangkan Rasulullah tidak melakukannya secara berjamaah
terus menerus disebabkan takut hal itu diwajibkan kepada kaum muslimin.
Lalu tidak mampu mengerjakannya, sebagaimana jelas dalam hadits Aisyah
(yang diriwayatkan dalam shahihain):
أَنَّ
رَسُوْلَ اللهِ خَرَجَ لَيْلَةً فِيْ جَوْفِ اللَّيْلِ فَصَلَّى فِيْ
الْمَسْجِدِ وَ صَلَّى رِجَالٌ بِصَلاَتِهِ فَأَصْبَحَ النَّاسُ
فَتَحَدَّثُوْا فَاجْتَمَعَ أَكْثَرُ مِنْهُمْ فَصَلَّى فَصَلُّوْا مَعَهُ
فَأَصْبَحَ النَّاسُ فتَحَدَّثُوْا فَكَثُرَ أَهْلُ الْمَسْجِدِ مِنَ
اللَّيْلَةِ الثَّالِثَةِ فَخَرَجَ رَسُوْلُ اللهِ فَصَلَّى
بِصَلاَتِهِ،فَلَمَّا كَانَتِ الَّليْلَةُ الرَّاِبعَةُ عَجِزَ اْلمَسْجِدِ
عَنْ أَهْلِهِ حَتَّىخَرَجَ لِصَلاَةِ الصُّبْحِ،فَلَمَّا قَضَىالْفَجْرَ
أَقْبَلَ عَلَى النَّاسِ فَتَشَهَّدَ ثُمَّ قَالَ :”أَمَّا بَعْدُ
فَإِنَّهُ لَمْ يَخْفَ عَلَيَّ مَكَانُكُمْ وَ لَكِنِّيْ خَشِيْتُ أَنْ
تُفْرَضَ عَلَيْكُمْ فَتَعْجِزُوْا عَنْهَا”. فَتُوُفِّيَ رَسُوْلُ اللهِ
وَ الأََمْرُ عَلَى ذَلِكَ.
Bahwasanya Rasululloh keluar pada suatu malam lalu
sholat di masjid,dan sholat bersamanya beberapa orang dengan
sholatnya,lalu pada pagi harinya manusia membicarakan hal itu,maka
berkumpullah orang lebih banyak dari mereka,lalu (Rasulullah) sholat dan
sholat bersamanya orang-orang tersebut. lalu keesokan harinya manusia
membicarakan hal itu,maka banyaklah ahli masjid pada malam ke tiga,lalu
Rasululloh keluar dan sholat bersama mereka. Ketika malam ke empat
masjid tidak dapat menampung ahlinya sehingga beliau keluar untuk sholat
shubuh, ketika selesai shubuh,beliau menghadap manusia,lalu bertsyahud
dan berkata:”Adapun kemudian, sudah jelas bagiku kukedudukan
kalian,akan tetapi aku takut diwajibkan hal ini atas kalian lalu kalian
tidak mampu melaksanakannya”.Lalu Rasululloh meninggal dan perkara
tersebut tetap dalam keadaan tidak berjamaah[13]
Sebab qiyam Romadhon (sholat tarawih) tidak
dilakukan secara berjamaah ini hilang dengan wafatnya Rasululloh. Hal
ini karena dengan wafatnya beliau agama ini telah sempurna.
Dengan demikian amalan ini telah disyariat namun tidak
dikerjakan Rasululloh lantaran kekhawatiran beliau, kemudian amalan ini
dihidupkan kembali oleh Umar bin al-Khaththab pada kekhalifaannya.
Pensyariatan berjamaah ini juga untuk wanita, bahkan boleh
menjadikan imam khusus untuk mereka, sebagaimana dilakukan kholifah
Umar. Beliau mengangkat Ubai bin Kaab sebagai Imam untuk laki-laki dan
Sulaiman bin Abu Hatsmah untuk wanita. Demikian juga kholifah Ali bin
Abu Thalib memerintahkan kamu muslimin sholat tarawih berjamaah dan
mengangkat seorang imam untuk laki-laki dan urfuzah ats-Tsaqafi untuk
imam bagi wanita [14]
1.3. Jumlah rakaatnya
Adapun jumlah rakaatnya adalah 11 rakaat menurut yang rajih
insyallah dan boleh kurang dan lebih darinya, karena Rasulullah tidak
menentukan banyaknya dan panjang bacaannya.
1.4. Waktunya
Waktunya dimulai dari setelah sholat ‘Isya’ sampai munculnya fajar shubuh, dengan dalil sabda Rasululloh :
إِنَّ اللهَ زَادَكُمْ صَلاَةً ،وَهِيَ الْوِتْرُ فَصَلُّوْهَا بَيْنَ صَلاَةِ الْعِشَاءِ إِلَىصَلاَةِ اْلفَجْرِ
Sesungguhnya Allah telah menambah kalian satu sholat
dan dia adalah witir maka sholatlah kalian antara sholat ‘Isya sampai
shlat Fajar. [15]
Dan sholat malam diakhir malam lebih utama bagi yang mampu untuk bangun diakhir malam, dengan dalil sabda Rasululloh :
مَنْ
خَافَ أَنْ لاَ يَقُوْمَ مِنْ أَخِرِ اللَّيْلِ فَلْيُوْتِرْ أَوَّلَهُ
وَمَنْ طَمِعَ أَنْ يَقُوْمَ آخِرَهُ فَلْيُوْتِرْ آخِراللَّيْلِ، فَإِنَّ
صَلاَةَ آخِرِ الَّليْلِ مَشْهُوْدَةٌ، وَذَلِكَ أَفْضَلُ
Barang siapa yang takut tidak bangun di akhir
malam,maka berwitirlah di awalnya,dan barang siapa yang tamak untuk
biasa bangun di akhirnya,maka hendaklan berwitir di akhir malam,karena
sholat di akhir malam itu dipersaksikan,dan itu lebih utama. [16]
Tetapi kalau terdapat sholat teraweh berjamaah di awal malam maka itu lebih utama dari sholat taraweh di akhir malam sendirian.
1.5. Rincian Rakaat Sholat Taraweh.
Adapun sholat taraweh yang dilakukan Rasululloh adalah dengan perincian sebagai berikut:
1. 13 Rakaat dengan perincian:2 rakaat-2 rakaat dan dengan satu witir.
2. 13 Rakaat dengan perincian : 8 rakaat ditutuyp dengan
salam pada setiap dua rakaat,ditambah 5 rakaat witir dengan tidak duduk
dan salam kecuali di rakaat yang kelima.
3. 11 rakaat dengan perincian: dua-dua rakaat dan ditutup dengan satu witir.
4. 11 Rakaat dengan perincian: 8 rakaat tanpa duduk kecuali
di rakaat yang kedelapan,lalu bertasyahud dan sholawat serta berdiri
tanpa salam,lalu berwitir serakaat dan salam dan ditambah 2 rakaat
dilakukan dalam posisi duduk.
5. 9 Rakaat dengan perinciaan : 6 rakaat dilakukan tanpa
duduk kecuali di rakaat keenam,lalu bertasyahut dan bersholawat tanpa
salam,kemudian berdiri untuk witir serakaat lalu salam,kemudian sholat 2
rakaat dengan duduk.
1.6. Qunut.
Setelah selesai dari membaca surat dan sebelum ruku’ kadang-kadang beliau berqunut,dan boleh dilakukan setelah ruku’
1.7. Bacaan Setelah Witir.
Apabila telah selesai dari witir maka hendaklah membaca:
سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوْس سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوْس سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوْس
dengan memanjangkan suara dan meninggikannya pada yang ketiga.
2. Puasa.
Setelah melakukan sholat taraweh dimalam hari, seorang muslim bersiap melakukan amalan puasa dibulan romadhon.
1 Definisi Puasa
1.1. Definisi Secara Bahasa
Ash-Shiyam (puasa) dalam bahasa Arab bermakna ‘menahan diri’, seperti firman Allah :
إِنِّي نَذَرْتُ لِلرَّحْمَنِ صَوْمًا
“Aku telah bernazar kepada Allah untuk menahan diri (dari berbicara)” (Maryam, 19::26).
1.2. Definisi Secara Istilah Syari
Adapun secara istilah syari adalah ‘menahan diri dengan
niat ibadah dari hal-hal yang membatalkannya sejak terbit fajar sampai
terbenam matahari dengan niat’.[17]
1.2. Kewajiban Berpuasa di Bulan Ramadhan
Puasa Ramadhan adalah puasa yang diwajibkan oleh Allah atas
orang-orang mukmin dan merupakan salah satu dari Rukun Islam yang Lima,
sebagaimana yang telah ditetapkan di dalam Alquran dan as-Sunnah serta
ijmak kaum muslimin.
a. Dalil dari Alquran:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu
berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu
bertakwa,” (Al-Baqarah, 2:183).
b. Dalil dari as-Sunnah:
1. Hadits Thalhah bin Ubaidullah, Beliau berkata,
أَنَّ
أَعْرَابِيًّا جَاءَ إِلىَ رَسُوْلِ اللهِ ثَائِرَ الرَّأْسِ – وفيه –
فَقَالَ:أَخْبِرْنِيْ بِمَا فَرَضَ اللهُ عَلَيَّ مِن َالصِّيَامِ، فقال: «
رَمَضَان إِلاَّ أَنْ تَطَوَّعَ شَيْئًا »
“Seorang arab pedalaman datang kepada Nabi dalam keadaan
kusut rambutnya – dan terdapat - laki-laki itu, ‘Beritahulah aku apa
yang diwajibkan atasku dari puasa.’ Rasulullah menjawab, ‘Ramadhan, kecuali kalau engkau ingin tambahan.’” [18]
2. Hadits Ibnu Umar. Beliau berkata, “Rasulullah bersabda,
«
بُنِيَ اْلإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ: شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله
وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ وَإِقَامِ الصَّلاَةِ وَإِيْتَاءِ
الزَّكَاةِ وَاْلحَجِّ وَصَوْمِ رَمَضَان »
“Islam dibangun di atas lima perkara, yaitu:
syhadatain, menegakkan solat, menunaikan zakat, haji ke Baitullah, dan
puasa bulan Ramadhan.” (Riwayat al-Bukhariy).
c. Dalil dari Ijmak kaum muslimin:
Kaum muslimin telah menyepakati kewajiban puasa Ramadhan sejak dahulu sampai sekarang.
1.3. Keutamaan Puasa[19]
Telah ada perintah yang menunjukkan bahwa puasa merupakan
satu ibadah yang dapat mendekatkan diri pelakunya kepada Allah. Di
samping itu, telah dijelaskan keutamaan-keutamaannya, di antaranya
adalah yang terkandung dalam firman Allah :
إِنَّ
الْمُسْلِمِينَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ
وَالْقَانِتِينَ وَالْقَانِتَاتِ وَالصَّادِقِينَ وَالصَّادِقَاتِ
وَالصَّابِرِينَ وَالصَّابِرَاتِ وَالْخَاشِعِينَ وَالْخَاشِعَاتِ
وَالْمُتَصَدِّقِينَ وَالْمُتَصَدِّقَاتِ وَالصَّآئِمِينَ وَالصَّآئِمَاتِ
وَالْحَافِظِينَ فُرُوجَهُمْ وَالْحَافِظَاتِ وَالذَّاكِرِينَ اللهَ
كَثِيرًا وَالذَّاكِرَاتِ أّعَدَّ اللهُ لَهُم مَّغْفِرَةً وَأَجْرًا
عَظِيمًا
“Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim,
laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap
dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan
perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki
dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa,
laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan
perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan
untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.” (Al-Ahzab, 33:35).
Dan juga firman Allah:
وَأَن تَصُومُوا خَيْرُُ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ
“Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahuinya.” (Al-Baqarah, 2:184).
Rasulullah sendiri telah menjelaskan keutamaan puasa dalam hadits-haditsnya yang sahih, antara lain adalah:
a. Puasa merupakan benteng atau perisai sebagaimana disebutkan dalam sabda Rasulullah :
«
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنْ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ
فَلْيَتَزَوَّجْ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ،
وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصِّيَامِ فَإِنَّ لَهُ وِجَاءً »
“Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kamu yang
telah memiliki kemampuan untuk menikah, maka hendaknya dia menikah
karena nikah itu lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan.
Sedang barangsiapa yang tidak mampu, maka seharusnya dia berpuasa
karena puasa itu adalah benteng atau perisai baginya[20].
Hadits ini menjelaskan bahwa puasa dapat mengekang syahwat
dan memperlemahnya, sehingga dia bisa menjadi perisai seorang muslim
dari syahwat dan hawa nafsu – dua hal yang selalu menggiring manusia ke
neraka Jahannam. Oleh karena itu, Nabi bersabda dalam hadits yang lain,
«
مَا مِنْ عَبْدٍ يَصُوْمُ يَوْمًا فِيْ سَبِيْلِ الله إِلاََّ باَعَدَ
الله بذَلِكَ وَجْهَهُ عَنِ الَّنارِ سَبْعِيْنَ خَرِيْفًا »
“Tidaklah ada seorang hamba yang berpuasa satu hari di
jalan Allah, melainkan Allah akan menjauhkan wajahnya dengan puasanya
itu dari api neraka (sepanjang perjalanan) tujuh puluh tahun.” [21]
b. Puasa dapat memasukkan pelakunya ke dalam surga,
sebagaimana hadits Abu Umamah bahwa beliau pernah berkata kepada
Rasulullah, “Wahai Rasulullah, tunjukkanlah kepadaku satu amalan yang
dapat memasukkan diriku ke dalam surga.” Beliau menjawab,
« عَلَيْكَ بِالصَّوْمِ، لاَ مِثْلَ لَهُ »
“Berpuasalah, tidak ada yang seperti puasa.” [22]
c. Orang yang berpuasa itu mendapat dua kebahagiaan, sebagaimana disebutkan dalam hadits
Abu Hurairah, beliau berkata, “Rasulullah bersabda:
Abu Hurairah, beliau berkata, “Rasulullah bersabda:
«
قَالَ الله: كُلُّ عَمَلِ بني آدم له إلا الصيام فإنه لي وأنا أجزي به،
والصيام جنة، وإذا كان يوم صوم أحدكم فلا يرفث و لا يصخب، فإن سابه أحد أو
قاتله فليقل: إني امرؤٌ صائم، والذي نفس محمدٍ بيده لخُلوف فم الصائم أطيبُ
عند اللّه من ريح المسك، للصائم فرحتان يفرحهما: إذا أفطر فرح وإذا لقي
ربَّه فرح بصومه »
“Allah berfirman, ‘Semua amalan Bani Adam untuknya,
kecuali puasa, maka itu untuk-Ku dan Aku sendiri yang membalasnya.’
Puasa itu perisai. Jika salah seorang dari kalian berpuasa pada satu
hari, maka janganlah berkata-kata kotor dan keji. Jika ada orang yang
mencelanya dan menyakitinya, hendaklah dia berkata, ‘Aku sedang
berpuasa.’ Demi Zat Yang jiwa Muhammad di tangan-Nya, sungguh bau mulut
orang yang berpuasa itu lebih wangi di sisi Allah daripada wangi misik. Orang
yang berpuasa itu memiliki dua kebahagiaan yang membahagiakannya, yaitu
jika berbuka, dia berbahagia, dan jika berjumpa dengan Rabnya dia
berbahagia dengan puasanya.” [23]
Dalam hadits inipun terdapat dua keutamaan yang lain, yaitu:
d. Pahala orang yang berpuasa dilipatgandakan, dan
e. Bau mulut orang yang berpuasa itu lebih baik di sisi Allah daripada wangi misik.
f. Orang-orang yang berpuasa diberikan pintu khusus di surga yang diberi nama ar-Rayyan, sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah,
«
إِنَّ فِيْ الْجَنَّةِ بَابًا يُقَالُ لَهُ: الرّيَّان، يَدْخُلُ مِنْهُ
الصَّائِمُوْنَ يَوْمَ اْلقِيَامَةِ، لاَ يَدْخُلُ مِنْهُ أَحَدٌ
غَيْرُهُمْ، فَإِذَا دَخَلُوْا أُغْلِقَ فَلَمْ يَدْخُلْ أَحَدٌ مِنْهُ،]فَاِذَا دَخَلَ اَّخِرُهُمْ أُغْلِقَ، وَمَنْ دَخَلَ شَرِبَ، وَمَنْ شَرِبَ لَمْ يَظْمَأْ أَبَدًا] »
“Sesungguhnya di dalam surga terdapat pintu yang dinamakan ar-Rayyan.
Masuk dari pintu itu orang-orang yang berpuasa pada hari kiamat; tidak
masuk dari pintu itu seorangpun selain mereka. Kalau mereka semua telah
masuk (ke dalam surga), maka pintu itu ditutup sehingga tidak dapat
lagi seorangpun masuk melaluinya. Maka jika telah masuk orang yang
terakhir dari mereka, pintu itupun ditutup. Barangsiapa yang masuk, akan
minum, dan barangsiapa yang minum tidak akan haus selamanya.” [24]
1.4. Amalan -Amalan Yang Berhubungan Dengan Puasa
1. Niat
Jika telah masuk bulan Ramadhan, wajib atas setiap muslim untuk berniat puasa pada malam harinya karena Rasulullah bersabda,
« مَنْ لَمْ ُيْجِمِع الصِّيَامَ قَبْلَ اْلفَجْرِ فََلاَ صِيَامَ لَهُ »
“Barangsiapa yang tidak berniat puasa sebelum fajar, maka tiada baginya puasa itu.” [25]
Niat tempatnya di hati sedang melafalkannya itu termasuk
kebidahan. Kewajiban berniat puasa pada malam hari khusus untuk puasa
wajib saja.
2. Waktu Puasa
Adapun waktu puasa dimulai dari terbit fajar subuh sampai terbenam matahari dengan dalil firman Allah,
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ اْلأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ اْلأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ
“Dan makan dan minumlah kalian sampai jelas bagi kalian putihnya siang dan hitamnya malam dari fajar.”(Al-Baqarah, 2:186).
Dan perlu diketahui bahwa Rasulullah telah menjelaskan bahwa fajar ada dua:
a. Fajar kazib (fajar awal). dalam waktu ini belum boleh dilakukan solat subuh dan dibolehkan untuk makan dan minum bagi yang berpuasa.
b. Fazar shodiq (fajar yang kedua/subuh) sebagaimana hadits Ibnu Abbas , Rasulullah bersabda,
«الفَجْرُ
فَجْرَانِ: فَأَمَّا اْلأَوَّلُ فَإِنَّهُ لاَ يَحْرُمُ الطَّعَامُ وَلاَ
يَحِلُّ الصَّلاَة ُوأَمَّا الثَّانِيْ فإِنَّهُ يَحْرُمُ الطَّعَامُ وَ
يَحِلُّ الصَّلاَةَ »
“Fajar itu ada dua. Adapun yang pertama, maka
dibolehkan makan dan tidak boleh melakukan solat, sedang yang kedua,
maka diharamkam makan dan dibolehkan solat.” [26]
Untuk mengenal keduanya dapat dilihat dari bentuknya. Fajar
yang pertama, bentuknya putih memanjang vertikal seperti ekor serigala.
Sedangkan fajar yang kedua, berwarna merah menyebar horisontal
(melintang) di atas lembah-lembah dan gunung-gunung dan merata di
jalanan dan rumah-rumah, dan jenis ini yang ada hubungannya dengan
puasa.
Jika tanda-tanda tersebut telah tampak, maka hentikanlah
makan dan minum serta bersetubuh. Sedangkan adat yang ada dan berkembang
saat ini – yang dikenal dengan nama imsak – merupakan satu
kebidahan yang seharusnya ditinggalkan. Dalam hal ini, al-Hafizh Ibnu
Hajar – seorang ulama besar dan ahli hadits yang bermazhab Syafi’i yang
meninggal tahun 852 H – berkata dalam kitabnya yang terkenal Fath al-Bary Syarh al-Jami’ ash-Shohih (4/199),
“Termasuk kebidahan yang mungkar adalah apa yang terjadi pada masa ini,
yaitu mengadakan azan yang kedua kira-kira sepertiga jam sebelum fajar
dalam bulan Ramadhan dan mematikan lentera-lentera sebagai alamat untuk
menghentikan makan dan minum bagi yang ingin berpuasa, dengan
persangkaan bahwa apa yang mereka perbuat itu demi kehati-hatian dalam
beribadah. Hal seperti itu tidak diketahui, kecuali dari segelintir
orang saja. Hal tersebut membawa mereka untuk tidak azan, kecuali
setelah terbenam beberapa waktu (lamanya) untuk memastikan (masuknya)
waktu-menurut persangkaan mereka- lalu mengakhirkan buka puasa dan
mempercepat sahur. Maka mereka telah menyelisihi sunnah Rasulullah. Oleh
karena itu, sedikit sekali kebaikan mereka dan lebih banyak kejelekan
pada diri mereka. الله المستعان .”
Setelah jelas waktu fajar, maka kita menyempurnakan puasa
sampai terbenam matahari lalu berbuka sebagaimana disebutkan dalam
hadits Umar bahwa Rasulullah bersabda,
« إِذَا أَقْبَلَ الَّليْلُ مٍنْ هَهُنَا وَ أَدْبَرَ النَّهَارُ مِنْ هَهُنَا وَغَرَبَتِ الشَّمْسُ فَقَدْ أَفْطَرَ الصَّائِمُ »
“Jika telah datang waktu malam dari arah sini dan pergi
waktu siang dari arah sini serta telah terbenam matahari, maka orang
yang berpuasa telah berbuka.” [27]
Waktu berbuka tersebut dapat dilihat dengan datangnya awal
kegelapan dari arah timur setelah hilangnya bulatan matahari secara
langsung. Semua itu dapat dilihat dengan mata telanjang tidak memerlukan
alat teropong untuk mengetahuinya.
3. Sahur
3.1. Hikmahnya
Setelah mewajibkan berpuasa dengan waktu dan hukum yang sama dengan yang berlaku bagi orang-orang sebelum mereka, maka Allah
mensyariatkan sahur atas kaum muslimin dalam rangka membedakan puasa
mereka dengan puasa orang-orang sebelum mereka, sebagaimana yang
disabdakan Rasulullah dalam hadits Abu Sa‘id al-Khudriy:
« فَصْلُ مَا بَيْنَ صِيَامِنَا وَصِيَامِ أَهْلِ الْكِتَابِ أَكْلَةُ السَّحُوْرِ »
“Yang membedakan antara puasa kita dengan puasa ahli kitab adalah makan sahur.” [28]
3.2. Keutamaannya
Keutamaan sahur antara lain:
1. Sahur adalah berkah sebagaimana sabda Rasulullah :
« إِنَّهَا بَرَكَةٌ أَعْطَاكُمُ الله إِيَّاهَا فَلاَ تَدَعُوْهُ »
“Sesungguhnya dia adalah berkah yang diberikan Allah kepada kalian, jangan kalian meninggalkannya.” [29].
Sahur sebagai suatu berkah dapat dilihat dengan jelas
karena sahur itu mengikuti sunnah dan menguatkan orang yang berpuasa
serta menambah semangat untuk menambah puasa dan juga mengandung nilai
menyelisihi ahli kitab.
2. Salawat dari Allah dan malaikat bagi orang yang bersahur, sebagaimana yang ada dalam hadits Abu Sa‘id al-Khudry bahwa Rasulullah bersabda,
«
السَحُوْر أَكْلَةُ اْلْبَرَكَةِ، فَلاَ تَدَعُوْهُ ولَوْ أَنْ يَجْرَعَ
أَحَدُكُمْ جُرْعَةً مِنْ َماءٍ فَإِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّْونَ
عَلَى الْمُتَسَحِّرِيْنَ »
“Sahur adalah makanan berkah, maka jangan kalian
tinggalkan walaupun salah seorang dari kalian hanya meneguk seteguk air,
karena Allah dan para malaikat bersalawat atas orang-orang yang
bersahur.” [30]
3.3. Sunnah Mengakhirkannya
Disunnahkan memperlambat sahur sampai mendekati subuh
(fajar) sebagaimana yang dilakukan Rasulullah di dalam hadits Ibnu Abbas
dari Zaid bin Tsabit, beliau berkata,
تَسَحَرْنَا
مَعَ النَّبِيْ ثُمَّ قَامَ إِلَى الصَّلاَةِ، قُلْتُ: كَمْ كَانَ بَيْنَ
الأَذَانِ وَالسُّحُوْرِ؟ قَالَ: قَدْرُ خَمْسِيْنَ آية
“Kami bersahur bersama Rasulullah, kemudian beliau pergi untuk solat.” Aku (Ibnu Abbas) bertanya, “Berapa lama antara azan dan sahur?” Beliau menjawab, “Sekitar 50 ayat.”[31].
3.4. Hukumnya
Sahur merupakan sunnah yang muakkad dengan dalil:
a. Perintah dari Rasulullah untuk itu sebagaimana hadits yang terdahulu dan juga sabda beliau :
« تَسَحَّرُوْا فَإِنَّ فِيْ السَّحُوْرِ بَرَكَةٌ »
“Bersahurlah karena dalam sahur terdapat berkah.” [32]
b. Larangan beliau dari meninggalkannya sebagaimana hadits Abu Sa’id yang terdahulu. Oleh karena itu, al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Fath al-Bary (3/139) menukilkan ijmak atas kesunahannya.
4. Perkara-Perkara yang Membatalkan Puasa
Di dalam puasa ada perkara-perkara yang merusaknya, yang
harus dijauhi oleh seorang yang berpuasa pada siang harinya.
Perkara-perkara tersebut adalah:
a. Makan dan minum dengan sengaja sebagaimana yang difirmankan Allah:
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ اْلأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ اْلأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ
“Dan makanlah dan minumlah kalian sampai jelas bagi kalian benang putih siang dari benang hitam malam dari fajar.” (Al-Baqarah, 2:186).
b. Sengaja untuk muntah ( muntah dengan sengaja).
c. Haid dan nifas.
d. Injeksi yang berisi makanan (infus).
e. Bersetubuh.
Kemudian ada perkara-perkara lain yang harus ditinggalkan oleh seorang yang berpuasa ,yaitu:
1.Berkata bohong sebagaimana disebutkan dalam hadits Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda,
« مَنْ لَمْ َيدَعْ قَوْلَ الزُّوْرِ وَ الْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ ِللهِ حَاجَةٌ أَنْ َيدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ »
“Barangsiapa yang tidak meninggalkan berkata bohong dan
beramal dengannya, maka Allah tidak butuh dengan usahanya meninggalkan
makan dan minum.” (Riwayat al-Bukhariy).
2.Berbuat kesia-siaan dan kejahatan (kejelekan) sebagaimana disebutkan dalam hadits
Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda,
Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda,
«
لَيْسَ الصِّيَامُ مِنَ الأَكْلِ وَالشَّراَبِ إِنَّمَا الصِّيَامُ مِنَ
اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ، فَإِنْ سَابَكَ أَحَدٌ أَوْ جَهِلَ عَلَيْكَ فَقُلْ
إِنِّيْ صَائِمٌ إِنِّيْ صَائِمٌ »
“Bukanlah puasa itu (menahan diri) dari makan dan
minum. Puasa itu hanyalah (menahan diri) dari kesia-siaan dan kejelekan,
maka kalau seseorang mencacimu atau berbuat kejelekan kepadamu, maka
katakanlah, ‘Saya sedang puasa. Saya sedang puasa.’” [33]
5. Perkara-Perkara yang Dibolehkan
Ada beberapa perkara yang dianggap tidak boleh padahal dibolehkan, di antaranya:
a. Orang yang junub sampai datang waktu fajar sebagaimana disebutkan dalam hadits Aisyah dan Ummu Salamah, keduanya berkata:
كَانَ رَسُلُ الله يُدْرِكُهُ الْفَجْرُ وَهُوَ جُنُبٌ مِنْ أَهْلِهِ ثُمَّ اغْتَسَلَ و يَصُوْمُ
“Sesungguhnya Nabi mendapatkan fajar (subuh) dalam keadaan junub dari keluarganya kemudian mandi dan berpuasa.” [34]
b. Bersiwak.
c. Berkumur dan memasukkan air ke hidung ketika bersuci.
d. Bersentuhan dan berciuman bagi orang yang berpuasa dan dimakruhkan bagi orang-orang yang berusia muda.
e. Injeksi yang bukan berupa makanan.
f. Berbekam.
g. Mencicipi makanan selama tidak masuk ke tenggorokan.
h. Memakai penghitam mata (celak) dan tetes mata.
i. Menyiram kepala dengan air dingin dan mandi.
6. Orang-Orang yang Dibolehkan Tidak Berpuasa
Sesungguhnya agama Islam adalah agama yang mudah. Oleh
karena itu, ia memberikan kemudahan dalam puasa ini kepada orang-orang
tertentu yang tidak mampu atau sangat sulit untuk berpuasa. Mereka itu
adalah sebagai berikut:
1. Musafir (orang yang sedang dalam perjalanan/bepergian ke luar kota).
Musafir diperkenankan untuk berpuasa dan berbuka sebagai rahmat dari Allah, sebagaimana firmanNya:
وَمَن
كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
يُرِيدُ اللهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ
وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia
berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang
ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki
kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah
kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu,
supaya kamu bersyukur. (Surat Al Baqorah. 2:185). Demikian pula Rasululloh ditanya tentang puasa musafir sebagaimana dalam hadits Hamzah bin Amru Al Aslamiy:
أَنَّ
حَمْزَةَ بْنَ عَمْرٍو الْأَسْلَمِيَّ قَالَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَأَصُومُ فِي السَّفَرِ وَكَانَ كَثِيرَ الصِّيَامِ
فَقَالَ إِنْ شِئْتَ فَصُمْ وَإِنْ شِئْتَ فَأَفْطِرْ
Sesungguhnya Hamzah bin Amru Al Aslamiy bertanya kepada
Rasululoh: “Apakah saya berpuasa dalam perjalanan?” Hamzah adalah
seorang yang banyak berpuasa, Lalu Rasululloh menjawab: “Jika kamu suka
berpuasalah dan jika suka berbukalah”. (Muttafaqun ‘Alaihi).
2. Orang yang sakit.
Dibolehkan berbuka bagi orang sakit sebagai
rahmat dari Allah. Namun dengan ketentuan sakitnya tersebut akan
memerikan kemudhoratan kepada dirinya atau bertambah parah atau
dikhawatirkan memperlambat kesembuhannya bila berpuasa[35] .
3. Wanita yang sedang haid atau nifas.
Para ulama telah bersepakat (ijma’) bahwa orang
yang haidh dan nifas dilarang berpuasa dan keduanya harus mengqadha
puasanya dihari yang lain.
4. Orang yang sudah tua dan wanita yang sudah tua dan lemah.
Orang yang sudah tua dan lemah diperbolehkan
berbuka dengan kewajiban memberi makan setiap hari seorang miskin,
sebagaimana disampaikan Ibnu Abas: “orang yang sudah tua baik laki-laki
atau perempuan yang tidak mampu berpuasa maka keduanya harus memberi
makan setiap harinya seorang miskin”.[36]
5. Wanita yang hamil atau menyusui.
7. Berbuka Puasa
7.1. Waktu berbuka
Berbuka puasa dilakukan pada waktu terbenam matahari dan
telah lalu penjelasannya pada pembahasan waktu puasa. Rasululloh
berbuka sebelum sholat maghrib sebagaimana diriwayatkan Anas bin Malik.
7.2. Mempercepat Buka Puasa
Termasuk dalam sunnah puasa adalah mempercepat waktu
berbuka dalam rangka mengikuti contoh Rasulullah dan para sahabatnya
sebagaimana yang dikatakan oleh Amr bin Maimun al-Audy bahwa
sahabat-sahabat Muhammad adalah orang-orang yang paling cepat berbuka
dan paling lambat sahurnya. [37]
Adapun manfaatnya adalah:
1. Mendapatkan kebaikan sebagaimana disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan Sahl bin Saàd bahwa Rasulullah bersabda,
« لَا يَزَالُ النَّاسَ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوْا الْفِطْرَ »
“Manusia akan senantiasa dalam kebaikan selama mereka mempercepat buka puasanya.” [38]
2. Merupakan sunnah Nabi .
3. Dalam rangka menyelisihi ahli kitab sebagaimana disebutkan dalam hadits Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda,
« لاَ يَزَالُ الدَّيْنُ ظَاهِرًا مَا عَجَّلَ النَّاسُ الْفِطْرَ، لأَنَّ الْيَهُوْدَ وَالنَّصَارَى يُؤَخِّرُوْنَهُ »
“Agama ini akan senantiasa menang selama manusia (kaum
muslimin) mempercepat buka puasanya karena orang-orang Yahudi dan
Kristen (Nashrani) mengakhirkannya.” [39]
Buka puasa dilakukan sebelum solat maghrib karena itu
merupakan akhlak para nabi. Sedangkan Rasulullah memotivasi kita untuk
berbuka dengan kurma dan kalau tidak ada kurma, maka memakai air. Ini
merupakan kesempurnaan kasih sayang dan perhatian beliau terhadap
umatnya. Setelah berbuka, beliau melakukan sholat maghrib
7.3. Makanan berbuka
Memang tidak ketentuan jenis makanan yang harus
dimakan ketika berbuka puasa, namun Rasululloh mendahulukan Ruthob
ketika berbuka, sebagaimana dikisahkan Anas bin Malik:
كَانَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُفْطِرُ قَبْلَ أَنْ
يُصَلِّيَ عَلَى رُطَبَاتٍ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ رُطَبَاتٌ فَتُمَيْرَاتٌ
فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تُمَيْرَاتٌ حَسَا حَسَوَاتٍ مِنْ مَاءٍ
Nabi berbuka sebelum sholat dengan Ruthob jika tidak
ada maka dengan kurma dan jika tidak ada maka meinum seteguk
air.(Riwayat Ahmad 3/163, Abu Daud 2/306 dan At Tirmidziy 3/70).
7.4. Bacaan orang yang berbuka.
Disyariatkan seorang yang berpuasa ketika
berbuka membaca do’a, sebagaimana dalam hadits Abdullah bin Amru bin Al
Ash:
“Sesungguhnya seorang yang berpuasa ketika berbuka memiliki do’a yang tidak tertolak”.
Sedangkan doa yang utama adalah do’a yang ma’tsur dari nabi :
كَانَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَفْطَرَ قَالَ
ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتْ الْعُرُوقُ وَثَبَتَ الْأَجْرُ إِنْ شَاءَ
اللَّهُ
Nabi jika berbuka membaca: ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتْ الْعُرُوقُ وَثَبَتَ الْأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ 40
8. Adab Orang yang Berpuasa.
Disunnahkan bagi orang yang berpuasa untuk beradab dengan adab-adab yang syari, di antaranya:
1. Memperlambat sahur. (telah lalu penjelasannya)
2. Mempercepat berbuka puasa.(telah lalu penjelasannya)
3. Berdoa ketika berpuasa dan ketika berbuka . (telah lalu penjelasannya)
4. Menahan diri dari perkara-perkara yang merusak puasa. (telah lalu penjelasannya)
5. Bersiwak.
6. Berderma dan tadarus Alquran.
7. Bersungguh-sungguh dalam beribadah khususnya pada sepuluh hari terakhir.
9. I’tikaf
9.1.Makna I’tikaf
I’tikaf berasal dari bahasa Arab yang bermakna berdiam diri
pada sesuatu. Kata ini dipakai juga untuk ibadah dengan tinggal dan
menetap dimasjid untuk beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah.
Pelaku ibadah ini dinamakan Mu’takif atau ‘Aakif.
9.2. Hikmah I’tikaf
Adapun hikmahnya berkata ibnul Qayim: “Ketika perbaikan dan
keistiqomahan hati dalam berjalan menuju Allah tergantung
konsentrasinya terhadap Allah dan kesatuan kekuatannya dalam menghadap
Allah secara penuh. Lalu jika hati terpecah tidak dapat disatukan
kecuali dengan menghadap kepada Allah, padahal kelebihan makan dan
minum, kelebihan bergaul dengan manusia, banyak ngomong dan tidur
menambah hati berantakan dan memporak porandakannya serta memutus atau
melemahkan atau mengganggu dan menghentikan hati dari jalan kepada
Allah. Maka rahmat Allah kepada hambaNya menuntut disyariatkan puasa
untuk mereka. Puasa yang dapat menghilangkan kelebihan makan dan minum
dan mengosongkan hati dari campuran syahwatyang menghalangi jalan kepada
Allah. Allah mensyariatkannya sesuai dengan kemaslahatan yang dapat
bermanfaat bagi hamba didunia dan akheratnya. Tentunya hal ini tidka
merugikan dan memutus kemaslahatan dunia dan akheratnya seorang hamba.
Kemudian mensyariatkan mereka I’tikaf yang tujuan dan
intinya adalah hati tinggal menghadap Allah, menyatukan kekuatannya,
berkholwat dengan Nya, menghilangkan kesebukan dengan makhluk dan hanya
sibuk menghadap Allah saja.
9.3. Pensyariatannya
I’tikaf disyariatkan Allah dalam firmanNya:
أُحِلَّ
لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسُُ
لَّكُمْ وَأَنتُمْ لِبَاسُُ لَّهُنَّ عَلِمَ اللهُ أَنَّكُمْ كُنتُمْ
تَخْتَانُونَ أَنفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنكُمْ فَالْئَانَ
بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَاكَتَبَ اللهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا
حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ اْلأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ
اْلأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى الَّيْلِ
وَلاَ تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ
حُدُودُ اللهِ فَلاَ تَقْرَبُوهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللهُ ءَايَاتِهِ
لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ
Dihalalkan bagi kamu pada malam hari shiyam bercampur
dengan isteri-isteri kamu, mereka itu adalah pakaian, dan kamu pun
adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasannya kamu tidak
dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf
kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah
ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang
putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah shiyam
itu sampai malam,(tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu
beri’tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu
mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada
manusia, supaya mereka bertaqwa. (Al Baqoroh 187)
Demikian juga hal ini dilakukan Rasululloh sebagaimana dikisahkan oleh hadits dibawah ini.
أَنَّ
النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ
الْأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ ثُمَّ اعْتَكَفَ
أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ
Nabi beri’tikaf di sepuluh akhir dari romadhon sampai wafat kemudian istri-istri beliau beri’tikaf setelahnya[41].
I’tikaf adalah ibadah yang disunnahkan untuk dilakukan pada
bulan Romadhon dan selainnya, baik didahului dengan puasa atau tidak,
akan tetapi yang paling utama di bulan Ramadhon dan disepuluh hari
terakhir sebagaimama dijelaskan hadits-hadits berikut ini.
أَنَّ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَعْتَكِفُ فِي
الْعَشْرِ الْأَوْسَطِ مِنْ رَمَضَانَ فَاعْتَكَفَ عَامًا حَتَّى إِذَا
كَانَ لَيْلَةَ إِحْدَى وَعِشْرِينَ وَهِيَ اللَّيْلَةُ الَّتِي يَخْرُجُ
مِنْ صَبِيحَتِهَا مِنْ اعْتِكَافِهِ قَالَ مَنْ كَانَ اعْتَكَفَ مَعِي
فَلْيَعْتَكِفْ الْعَشْرَ الْأَوَاخِرَ
Sesungguhnya Rasululloh n telah beri’tikaf disepuluh
hari pertengahanromadhon lalu I’tikaf pada tahun tersebut sampai pada
malam keduapuluh satu yaitu malam beliau keluar I’tikaf dipaginya beliau
berkata barang siapa yang beri’tikaf bersamaku maka hendaklah
beri’tikaf di sepuluh terakhir[42]. dan perintah dan persetujuan beliau kepada Umar dalam hadits :
عَنْ
عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ يَا رَسُولَ
اللَّهِ إِنِّي نَذَرْتُ فِي الْجَاهِلِيَّةِ أَنْ أَعْتَكِفَ لَيْلَةً
فِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْفِ نَذْرَكَ فَاعْتَكَفَ لَيْلَةً
Dari Umar bin Khothab beliau berkata: wahai Rasululloh
saya pernah bernazar dizaman jahiliyah untuk I’tikaf satu malam di
masjid haram. Lalu beliau menjawab: tunaikan nazarmu. Lalu Umar
beri’tikaf semalam.
9.4. Syarat Dan tempatnya
I’tikaf hanya boleh dilakukan dimasjid dan tidak keluar
darinya kecuali hajat dan darurat. Tidak boleh dilakukan pada selain
masjid. Sebagaimana firman Allah:
وَلاَ تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ
janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu
beri’tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu
mendekatinya. (Al Baqoroh 187)
9.5. Hal-hal Yang Diperbolehkan Dalam I’tikaf.
- Boleh keluar masjid karena hajat dan boleh juga mengeluarkan kepalanya keluar masjid untuk dicuci atau disisiri. Aisyah berkata:
كَانَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا اعْتَكَفَ يُدْنِي
إِلَيَّ رَأْسَهُ فَأُرَجِّلُهُ وَكَانَ لَا يَدْخُلُ الْبَيْتَ إِلَّا
لِحَاجَةِ الْإِنْسَانِ
Nabi jika beri’tikaf mengeluarkan kepalanya kepada saya
lalu saya sisiri, dan beliau tidak keluar kecuali untuk hajat
(kebutuhan)[43].
- Dibolehkan berwudhu dimasjid.
- Boleh membuat kemah kecil atau kamar kecil dengan kain di bagian belakang masjid sebagai tempat beri’tikaf, sebagaimana Aisyah membuat kemah kecil untuk Nabi beri’tikaf.
- Dibolehkan meletakkan kasur atau dipan dalam I’tikaf, sebagaimana diriwayatkan dari Ibnu Umar dari Nabi, bahwa beliau jika beri’tikaf disiapkan atau diletakkan kasur atau dipan dibelakang tiang taubah.[44]
- Boleh mengantar istrinya yang mengunjungunya dimasjid sampai pintu masjid. Dengan dalil:
أَنَّ
صَفِيَّةَ زَوْجَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
أَخْبَرَتْهُ أَنَّهَا جَاءَتْ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَزُورُهُ فِي اعْتِكَافِهِ فِي الْمَسْجِدِ فِي
الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ فَتَحَدَّثَتْ عِنْدَهُ سَاعَةً
ثُمَّ قَامَتْ تَنْقَلِبُ فَقَامَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ مَعَهَا يَقْلِبُهَا حَتَّى إِذَا بَلَغَتْ بَابَ الْمَسْجِدِ
عِنْدَ بَابِ أُمِّ سَلَمَةَ مَرَّ رَجُلَانِ مِنْ الْأَنْصَارِ فَسَلَّمَا
عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ لَهُمَا
النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى رِسْلِكُمَا إِنَّمَا
هِيَ صَفِيَّةُ بِنْتُ حُيَيٍّ فَقَالَا سُبْحَانَ اللَّهِ يَا رَسُولَ
اللَّهِ وَكَبُرَ عَلَيْهِمَا
Shofiyah berkata bahwa beliau dating menziarahi nabi
dalam I’tikaf beliau di sepuluh akhir romadhon lalu berbincang-bincang
dengan beliau beberapa saat, kemudian bangkit pulang. Rasulullohpun
bangkit bersamanya mengantar sampai ketika di pintu masjid didekat pintu
rumah Ummu Salamah, lewatlah dua orang anshor, lalu keduanya memberi
salam kepada Nabi dan beliau berkata kepada keduanya: “perlahan,
sesungguhnya dia adalah shofiuyah bintu Huyaiy. Lalu keduanya berkata:
“Subhanallah, wahai Rasululloh” dan keduanya menganggap hal yang besar.(
Bukhori).
- Wanita boleh beri’tikaf dimasjid selama aman dari fitnah, dengan dalil:
أَنَّ
النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ
الْأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ ثُمَّ اعْتَكَفَ
أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ
Nabi beri’tikaf di sepuluh akhir dari romadhon sampai wafat kemudian istri-istri beliau beri’tikaf setelahnya.[45]
10. Malam Qadar (Lailatul Qadr)
10.1. Sebab Penamaannya.
Para Ulama berselisih tentang sebab penamaan Lailatul qadr dalam dua pendapat:
Pertama: Sebabnya adalah karena keagungan dan kemuliaannya.
Keagungan dan kemuliaan ini karena Al Qur’an diturunkan seluruhnya
kelangit dunia pada malam tersebut, sebagaimana firman Allah dalam surat
Al Qadr.
Kedua: Sebabnya karena pada malam tersebut Allah menulis
seluruh taqdir, rezeki dan ajal kepada para malaikat untuk tahun
tersebut, sebagaimana firman Allah :
فِيهَا يُفْرَقُ كُلُّ أَمْرٍ حَكِيمٍ
Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah, (Surat Addukhon. 44:4)[46]
10.2. Keutamaannya.
Cukuplah keutamaan malam tersebut dengan dua hal:
Pertama: Malam tersebut lebih baik dari seribu bulan, sebagaimana firmanNya:
إِ نَّآ أَنْزَلْنَهُ فِى لَيْلَةِ الْقَدْرِ وَمَآ أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌمِّنْ أَلْفِ شَهْرٍ
Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (al-Qur’an) pada
malam kemuliaan. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu?Malam
kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. (Surat Al Qadr ayat:1-3)
Kedua: Pada malam tersebut Allah menuliskan seluruh taqdir tahun tersebut kepada para malaikat, sebagaimana firman Allah:
إِنَّآ
أَنزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُّبَارَكَةٍ إِنَّا كُنَّا مُنذِرِينَ فِيهَا
يُفْرَقُ كُلُّ أَمْرٍ حَكِيمٍ أَمْرًا مِّنْ عِندِنَآ إِنَّا كُنَّا
مُرْسِلِينَ رَحْمَةً مِّن رَّبِّكَ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang
diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan. Pada malam
itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah, (yaitu) urusan yang
besar dari sisi Kami.Sesungguhnya Kami adalah yang mengutus rasul-rasul,
sebagai rahmat dari Rabbmu. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mendengar
lagi Maha Mengetahui, (Surat Ad Dukhon 44:3-6)
10.3. Waktunya.
Para Ulama bersepakat menyatakan bahwa malam qadr terus ada setiap tahunnya sampai hari kiamat nanti.[47] Mereka berselisih dalam penentuan malam tersebut menjadi lima belas pendapat[48]. Namun yang rojih ada dimalam-malam ganjil sepuluh hari terakhir romadhan.
10.4. Tanda-tandanya.
Rasululloh memberikan tanda-tanda malam qadar agar dapat diketahui umatnya, diantara tanda-tandanya adalah:
- Pagi harinya matahari terbit tidak terik (menyilaukan mata) sampai meninggi. Hal ini diisyaratkan dalam hadits ٌRozzi bin Hubaisy yang bertanya kepada Ubai bin Ka’ab:
قُلْتُ
بِأَيِّ شَيْءٍ تَقُولُ ذَلِكَ يَا أَبَا الْمُنْذِرِ قَالَ
بِالْعَلَامَةِ أَوْ بِالْآيَةِ الَّتِي أَخْبَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهَا تَطْلُعُ يَوْمَئِذٍ لَا
شُعَاعَ لَهَا
Aku bertanya: Apa dalilnya engkau menegaskan hal
tersebut wahai Abul Mundzir? Beliau menjawab dengan alamat atau tanda
yang Rasululloh khabarkan yaitu matahari terbit waktu itu tidak terik. [49] Dalam riwayat Abu Daud:
تُصْبِحُ الشَّمْسُ صَبِيحَةَ تِلْكَ اللَّيْلَةِ مِثْلَ الطَّسْتِ لَيْسَ لَهَا شُعَاعٌ حَتَّى تَرْتَفِع
Matahari dipagi hari malam tersebut seperti bejana besar tidak memiliki cahaya yang terik sampai meninggi.[50]
- Malam harinya cerah dan terang, tidak dingin dan tidak pula panas, sebagaimana sabda Rasululloh:
لَيْلَةُ الْقَدْرِ لَيْلَةٌ سَمْحَةٌ طَلِقَةٌ لا حَارَةَ وَلاَ بَارِدَةَ تُصْبِحُ الشَّمْسُ صَبِيْحَتِهَا ضَعِيْفَةً حَمْرَاءَ
Malam qadr adalah malam yang cerah dan terang, tidak panas dan tidak pula dingin, pagi harinya matahari terbit lemah kemerahan.[51] Sedangkan dalam riwayat Ibnu Khuzaimah[52] tanpa tambahan kata (سَمْحَةٌ ) dan (صَبِيْحَتِهَا ) diganti (يوْمِهَا)
10.5. Hikmah disembunyikan waktunya.
Hikmah disembunyikan waktu malam ini adalah agar manusia
bersungguh-sungguh mencarinya dengan harapan dapat menjumpainya. Hal ini
seperti waktu terjadinya kiamat dan kematian.[53]
11. Zakat Fithroh.
Zakat fithroh merupakan zakat yang disyari’atkan dalam
islam berupa satu sho’ dari makanan yang dikeluarkan seorang muslim di
akhir Romadhon,dalam rangka menampakkan rasa syukur atas nikmat Allah
dalam berbuka dari Romadhon dan penyempurnaannya, oleh karena itu
dinamakan shodaqah fithroh atau zakat fithroh.[54]
11.1. Hukumnya
Zakat fithroh merupakan salah satu dari kewajiban
-kewajiban yang dibebani kepada kaum muslimin dan diwajbkan untuk
dikeluarkan oleh seorang muslim baik laki-laki atau
perempuan,besar,kecil,budak atau merdeka.
Dalilnya adalah :
a. Hadits Ibnu Umar :
فَرَضَ
رَسُوْلُ الله زَكَاةَ اْلفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ
شَعِيْرٍ عَلَى الْعَبْدِ وَالْحُرِّ وَالذَّكَرِ وَ الأنُثْىَ وَ
الصَّغِيْرِ وَ الْكَبِيْرِ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ،وَ أَمَرَ بِهَا قَبْلَ
خُرُوْجِ النَّاسُ إِلَى الصَّلاَةِ
Rasululloh telah mewajibkan zakat fithroh satu sho’
dari korma atau satu sho’ dari gandum atas hamba sahaya ,orang
merdeka,perempuan,laki-laki dan anak kecil dan besar.dan memerintahkan
untuk menunaikannya sebelum keluarnya manusia menuju sholat.
b. Hadits Abi Said Al Khudry :
كُنَّا
نُعْطِيهَا فِيْ َزمَانِ النَّبِي صَاعًا مِنْ طَعَامٍ أَوْ صَاعًا مِنْ
تَمْرٍ اَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ زَبِيْبٍ.
Kami dahulu pada zaman Nabi memberikanya(zakat
fithroh) satu sho’ dari makanan atau satu saho’ dari korma atau satu
sho’ darigandum atau kismis(anggur kering).
c.. Perkataan Said bin Musayyab dan Umar bin Abdul Aziz dalam menafsirkan firman Allah :
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ تَزَكَّى
Sungguh beruntung orang yang mensucikan dirinya.(Al A’la :14) dengan zakat fithroh.
e. Ijma’ yang dinukil Ibnbu Qudamah dari Ibnul
Munzir,beliau berkata: Telah bersepakat setiap ahli ilmu bahwa zakat
fithroh adalah wajib.(lihat Al Mughny 3/80)
11.2. Hikmahnya
Zakat fithroh memiliki hikmah yang banyak,diantaranya:
1. Dia merupakan zakat untuk tubuh yang telah diberikan kehidupan tahun tersebut.
2. Terdapat padanya kemudahan-kemudahan terhadap kaum muslimin baik yang kaya maupun yang miskin.
3. Dia merupakan ungkapan syukur atas nikmat Allah yang dilimpahkan kepada orang yang berpuasa.
4. Dengannya sempurna kebhagiaan kaum muslimin pada hari
ied dan dapat menutupi kekurangan-kekurangan yang terjadi pada bulan
Romadhon.
5. Dia menjadi makanan bagi para fakir miskin,dan
pembersih bagi orang yang berpuasa dari hal-hal yang mengurangi
kesempurnaannya pada bulan Romadhon. (lihat Fatawa Romadhon 2/909-911)
dengan dalil sabda Rasululloh :
فَرَضَ رَسُوْلُ الله زَكَاةَ اْلفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِيْنَ مِنَ اللَّغْوِ وَ الرَّفَثِ وَ طُعْمَةً لِلْمَسَاكِيْنَ.
Rasululloh telah mewajibkan zakat fitroh sebagai
pembersih orang yang berpuasa dari kesia-siaan dan kejelekan serta
memberi makan orang yang miskin.[55]
11.3. Jenis Yang Boleh dikeluarkan Untuk Zakat Fitroh Dan Yang Berhak Menerima.
Jenis yang dibolehkan dalam pengeluaran zakat fitroh adalah
semua makanan pokok penduduk negeri tersebut menurut pendapat yang
rojih[56]
dengan kesepakatan para ulama pada jenis-jenis yang ada dalam Nash
hadits. Sedang mengeluarkan harga zakat tersebut tidak diperbolehkan
para ulama baik dengan uang atau daging atau yang lainnya.[57]
Ibnu Taimiyah berkata: “Sesungguhnya asal dalam shodaqoh,bahwasanya diwajibkan atas dasar persamaan terhadap para orang faqir,sebagaimana firman Allah :
مِنْ أَوْسَطِ مَا تُطْعِمُوْنَ أَهْلِيْكُمْ
Dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu,(surat Al Maidah : 89)
Dan Nabi telah mewajibkan zakat fithroh satu sho’
dari korma atau gandum, karena itulah makanan pokk penduduk Madinah,dan
seandainya itu bukan makanan pokoknya,bahkan makan makanan pokok yang
lainnya,maka beliau tidak membebani mereka untuk mengeluarkan dari
makanan yang bukan merupakan makanan pokok mereka,sebagaimana tidak
memerintahkan dengan hal itu dalan kafarot. Dan shodaqoh fithroh
termasuk dari jenis kafarot, karena hal ini (zakat fithroh) berhubungan
dengan badan dan ini (kafarot) juga berhubungan dengan badan,berbeda
dengan shodaqoh harta(mal),karena dia diwajibkan dengan sebab harta dari
jenis yang Allah telah berikan.
Sedangkan orang yang berhak menerima adalah fakir miskin saja, dengan dalil hadits Nabi:
فَرَضَ رَسُوْلُ الله زَكَاةَ اْلفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِيْنَ مِنَ اللَّغْوِ وَ الرَّفَثِ وَ طُعْمَةً لِلْمَسَاكِيْنَ.
Rasululloh telah mewajibkan zakat fitroh sebagai
pembersih orang yang berpuasa dari kesia-siaan dan kejelekan serta
memberi makan orang yang miskin.
11.4. Ukuran Zakat Fithroh.
Sebagaimana ada dalam hadits-hadits terdahulu bahwa ukuran
yang dikeluarkan adalah 1 sho’ yang setara kurang lebih 3 kg
beras,menurut hitungan Syeikh Ibnu Baz (lihat Fatawa Romadhon 2:915 dan 2
:926).sedangkan menurut ukuran sebagian ulama setara dengan 2.275 Kg
dan menurut Syeikh Ibnu Utsaimin 2,45 Kg dan dinegeri kita berlaku 2,5
Kg. Mengambil yang lebih banyak lebih baik.
11.5. Waktu Mengeluarkannya.
Waktu mengeluarkannya yang utama adalah sebelum manusia
keluar menuju sholat Ied dan boleh dipercepat satu atau dua hari
sebelumnya sebagaimana yang dilakukan Ibnu Umar .dan tidak boleh setelah
sholat Ied,dengan dalil hadits Ibnu Abbas marfu’:
فَمَنْ
أَدَّاهَا قَبْلَ خُرُوْجِ النَّاسِ إِلَى الصَّلاَةِ فَزَكَاةٌ
مَقْبُوْلَةٌ وَ مَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ الصَّلاَةِ فَصَدَقَةٌ مِنَ
الصَّدَقَةِ.
Maka barang siapa yang menunaikannya sebelum keluar
manusia menuju sholat,maka zakat yang diterima,dan barang siapa yang
menunaikan setelah sholat,maka dia adalah shodaqoh dari
shodaqoh-shodaqoh.(HR Abi Daud).
Demikianlah waktu mengeluarkannya, namun bila
ada udzur seperti lupa atau yang lainnya maka ditunaikan ketika ingat
walaupun setelah selesai sholat ‘ied[58].
Dan yang rojih dari pendapat para ulama tentang menunaikan zakat
fithroh di awal Romadhon adalah tidak boleh, sebagaimana dinyatakan
Syeikh Muhammad Ibnu Utsaimin.[59]
Ditulis oleh: Ust. Khalid bin Syamhudi Hafizhahullah.
Sumber: http://ustadzkholid.com/fiqih/amalan-dan-hukum-sekitar-romadhon/
[1] Diringkas dari Sifat Saum An Nabi karya Syeikh Saalim bin ‘Ied Al Hilaliy dan Syeikh Ali Hasan Ali Abdilhamid, cetakan keenam tahun 1417 H –1997 M, penerbit Al Maktabah Al Islamiyah, Amaan, Yordania. hal 18-20.
[2] Riwayat al-Bukhariy dan Muslim
[3] Riwayat al-Bukhariy
[4] Lihat: Majmu’ al-Fatawa 25/132.
[5] Ihkamul Ahkaam dinukil dari AL I’laam Bi Fawaaid Umdatul Ahkam karya Ibnu Mulaqqin 5/179.
[6] Lihat: Majmu’ al-Fatawa 25/133
[7] Riwayat ath-Thahawy dan ath-Thabrany dalam al-Kabir 17/171, dan dihasankan Syaikh al-Albany dalam Irwa’ al-Ghalil nomor hadits 901.
[8] Riwayat Abu Dawud, ad-Darimy, Ibnu Hibban, al-Hakim, dan al-Baihaqy
[9] Riwayat Muslim
[10] Riwayat al-Bukhari dan Muslim
[11] Dikeluarkan oleh Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban dalam kitab Shahih keduanya dan oleh selainnya dengan sanad yang sahih
[12] Riwayat Ashhabus Sunan
[13] .HR Al Bukhory dan Muslim
[14] diriwayatkan oleh al-Baihaqiy
[15] (HR Ahmad dari Abi Bashroh,dan dishohihkan Al Albany dalam Qiyamur Romadhon 26).
[16] (HR Muslim).
[17] Lihat Taisirul Fiqh karya Dr. Sholih bin Ghanim As Sadlaan , cetakan kedua tahun 1417 H-1997M. tanpa penerbit. Hal 79
[18] (Riwayat Bukhariy dan Muslim).
[19] Diringkas dari Sifat Saum An Nabi n Hal 11-17
[20] Riwayat al-Bukhariy 3/106 dan Muslim no. 1400 dari hadits Ibnu Masud.
[21] (Riwayat al-Bukhariy dan Muslim dari hadits Abu Sa’id al-Khudriy).
[22] (Riwayat an-Nasaiy, Ibnu Hibban, dan al-Hakim dengan sanad yang sahih).
[23] (Riwayat al-Bukhariy dan Muslim).
[24] (Riwayat al-Bukhariy dan Muslim dari Abu Sa’id Al Khudriy).
[25](Riwayat Abu Dawud, Ibnu Khuzaimah, dan al-Baihaqy dari Hafshah binti Umar).
[26] (Riwayat Ibnu Khuzaimah, al-Hakim, ad-Daruqutny, dan al-Baihaqy dengan sanad yang sahih)
[27] (Riwayat al-Bukhariy dan Muslim)
[28] (Riwayat Muslim).
[29] Riwayat an-Nasai dan Ahmad dengan sanad yang sahih)
[30] (Riwayat Ibnu Abu Syaibah dan Ahmad).
[31] (Riwayat Bukhariy dan Muslim)
[32] (Riwayat al-Bukhariy dan Muslim).
[33] (Riwayat Ibnu Khuzaimah dan al-Hakim).
[34] (Riwayat al-Bukhariy dan Muslim).
[35] Lihat Sifat Shaum Nabi karya Syeikh Saalim dan Ali Hasan hal 59
[36] Riowayat Al Bukhori 4505
[37] Diriwayatkan oleh Abdurrazaq dalam al-Musannaf no 7591 dengan sanad yang disahihkan Ibnu Hajar dalam Fath al-Bary 4/199.
[38](Riwayat al-Bukhariy dan Muslim).
[39] (Riwayat Abu Dawud dan Ibnu Hibban dengan sanad hasan).
[40] riwayat Abu daud 2/306 dengan sanad yang hasan.
[41] Riwayat Bukhori No.1886
[42] Riwayat Bukhori No. 1887
[43] Riwayat Muslim
[44] Hadits ini sanadnya hasan, diriwayatkan Ibnu najah dalam Zawaaid sunannya.
[45] Riwayat Bukhori No. 1886
[46] Lihat Al I’lam Bi Fawa’id Umdatil Ahkam karya Ibnu Al Mulaqqin 5/391-392
[47] ibid 5/397.
[48] Ibid 5/398-404
[49] riwayat Muslim 1999
[50] riwayat Abu Daud 1170.
[51] Riwayat Ath Thoyalisi 349, Ibnu Khuzaimah 3/331 dan Al bazzar dengan sanad yang hasan. (lihat Sifat saum nabi hal 90.).
[52] Shohih Ibnu Khuzaimah 3/331-332
[53] lihat Al I’lam 5/407.
[54] (lihat Fatawa Romadhon ,2/901).
[55]
( HR Abu Daud,Ibnu Majah,Ad Daruquthny,Al Hakim dan Al Baihaqy , dan
dishasankan oleh Imam An Nawawy dalam Al Majmu’ (6/126),Ibnu Qudamah
dalam Al Mughny (3/50) dan Syeikh Muhammad Nashiruddin Al Albany dalam
Irwa’ Al Gholil (3/333)
[56] lihat Fatawa Romadhon 2/914
[57] ibid 2/916-927.
[58] Lihat Fataw Romadhon 2/931-935
[59] ibid 2/935
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jangan lupa komentarnya ya..!!