Oleh: Ustadz Abdullah bin Taslim Al-Buthoni, MA
Istilah “jilbab gaul”, “jilbab modis” atau “jilbab keren”…tentu tidak
asing di telinga kita, karena nama-nama ini sangat populer dan ngetrend
di kalangan para wanita muslimah. Bahkan kebanyakan dari mereka merasa
bangga dengan mengenakan jilbab model ini dan beranggapan ini lebih
sesuai dengan situasi dan kondisi di jaman sekarang. Ironisnya lagi,
sebagian dari mereka justru menganggap jilbab yang sesuai dengan syariat
adalah kuno, kaku dan tidak sesuai dengan tuntutan jaman.
Padahal, bukankah Allah Subhanahu wa Ta’ala yang mensyariatkan
hukum-hukum dalam Islam lebih mengetahui segala sesuatu yang
mendatangkan kebaikan bagi hamba-hamba-Nya dan Dialah yang mensyariatkan
bagi mereka hukum-hukum agama yang sangat sesuai dengan kondisi mereka
di setiap jaman dan tempat? Allah Azza wa Jalla berfirman:
أَلا يَعْلَمُ مَنْ خَلَقَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ
“Bukankah Allah yang menciptakan (alam semesta beserta isinya) maha
mengetahui (segala sesuatu)? Dan Dia Maha Halus lagi Maha Mengetahui”
[al-Mulk:14]
Dan bukankah Allah Jalaa Jalaaluh maha sempurna pengetahuan-Nya
sehingga tidak ada satu kebaikanpun yang luput dari pengetahuan-Nya dan
tidak mungkin ada satu keutamaanpun yang lupa disyariatkan-Nya dalam
agama-Nya?
Maha suci Allah Subhanahu wa Ta’ala yang berfirman:
لا يَضِلُّ رَبِّي وَلا يَنْسَى
“Rabb-ku (Allah Azza wa Jalla) tidak akan salah dan tidak (pula) lupa” [Thaahaa: 52].
Dalam ayat lain, Dia Jalaa Jalaaluh berfirman:
وَمَا كَانَ رَبُّكَ نَسِيًّا
“Dan Rabb-mu (Allah Subhanahu wa Ta’ala) tidak mungkin lupa” [Maryam: 64].
Dan maha benar Allah Subhanahu wa Ta’ala yang berfirman:
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالإحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي
الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ
يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
“Sesungguhnya Allah memerintahkan (kepadamu) untuk berlaku adil dan
berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari
perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran
kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran” [an-Nahl:90].
Ayat yang mulia ini menunjukkan bahwa semua perkara yang dilarang
oleh Allah Azza wa Jalla dalam Islam pasti membawa kepada keburukan dan
kerusakan, sebagaimana semua perkara yang diperintahkan-Nya pasti
membawa kepada kebaikan dan kemaslahatan [Lihat kitab “Taisiirul
Kariimir Rahmaan” (hal. 447).]
Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmati imam ‘Izzuddin ‘Abdul
‘Aziz bin ‘Abdis Salam yang memaparkan keindahan agama Islam ini dalam
ucapan beliau: “…Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kepada
para hamba-Nya melalui lisan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam
dengan segala kebaikan dan kemaslahatan, serta melarang mereka dari
segala dosa dan permusuhan…
Demikian pula Dia Jalaa Jalaaluh memerintahkan kepada mereka untuk
meraih segala kebaikan (dengan) memenuhi (perintah) dan mentaati-Nya,
serta menjauhi segala keburukan (dengan) berbuat maksiat dan
mendurhakai-Nya, sebagai kebaikan dan anugerah (dari-Nya) kepada mereka,
karena Dia maha kaya (dan tidak butuh) kepada ketaatan dan ibadah
mereka.
Maka Dia Azza wa Jalla menyampaikan kepada mereka (dalam Islam)
hal-hal yang membawa segala kebaikan dan petunjuk bagi mereka agar
mereka mengerjakannya, serta hal-hal yang membawa segala keburukan dan
kesesatan bagi mereka agar mereka menjauhinya.
Dan Dia Subhanahu wa Ta’ala menyampaikan kepada mereka bahwa Syaithan
adalah musuh bagi mereka agar mereka memusuhi dan tidak menurutinya.
Maka Dia Jalaa Jalaaluh menjadikan segala kebaikan di dunia dan akhirat
hanya dicapai dengan mentaati perintah(-Nya) dan menjauhi perbuatan
maksiat (kepada)-Nya” [Kitab “Qawa-‘idul ahkaam” (hal. 2).]
Antara Jilbab Syar’i Dan Jilbab Gaul
Berdasarkan keterangan di atas, maka setiap muslim yang beriman
kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan kebenaran agama-Nya wajib meyakini
bahwa semua aturan yang Allah Jalaa Jalaaluh tetapkan dalam Islam
tentang pakaian dan perhiasan bagi wanita muslimah adalah untuk
kemaslahatan/kebaikan serta penjagaan bagi kesucian diri dan kehormatan
mereka.
Lihatlah misalnya pensyariatan jilbab (pakaian yang menutupi semua
aurat secara sempurna [Lihat kitab “Hiraasatul fadhiilah” (hal. 53).])
bagi wanita ketika berada di luar rumah dan hijab/tabir untuk melindungi
perempuan dari pandangan laki-laki yang bukan mahramnya. Keduanya
bertujuan sangat mulia, yaitu untuk kebaikan dan menjaga kesucian bagi
kaum perempuan.
Allah Jalaa Jalaaluh berfirman:
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لأزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ
الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى
أَنْ يُعْرَفْنَ فَلا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا
“Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu,
dan istri-istri orang mukmin agar hendaklah mereka mengulurkan
jilbab-jilbab mereka ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya
mereka lebih mudah untuk dikenal, sehingga mereka tidak
diganggu/disakiti. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”
[al-Ahzaab: 59]
Dalam ayat ini Allah menjelaskan kewajiban memakai jilbab bagi wanita
dan hikmah dari hukum syariat ini, yaitu: “supaya mereka lebih mudah
untuk dikenal, sehingga mereka tidak diganggu/disakiti”.
Syaikh Abdurrahman as-Sa’di berkata: “Ini menunjukkan bahwa gangguan
(bagi wanita dari orang-orang yang berakhlak buruk) akan timbul jika
wanita itu tidak mengenakan jilbab (yang sesuai dengan syariat). Hal ini
dikarenakan jika wanita tidak memakai jilbab, boleh jadi orang akan
menyangka bahwa dia bukan wanita yang ‘afifah (terjaga kehormatannya),
sehingga orang yang ada penyakit (syahwat) dalam hatiya akan mengganggu
dan menyakiti wanita tersebut, atau bahkan merendahkan/melecehkannya…
Maka dengan memakai jilbab (yang sesuai dengan syariat) akan mencegah
(timbulnya) keinginan-keinginan (buruk) terhadap diri wanita dari
orang-orang yang mempunyai niat buruk” [Kitab “Taisiirul Kariimir
Rahmaan” (hal. 489).]
Dalam ayat lain, Allah Azza wa Jalla berfirman:
وَإِذَا سَأَلْتُمُوهُنَّ مَتَاعًا فَاسْأَلُوهُنَّ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ ذَلِكُمْ أَطْهَرُ لِقُلُوبِكُمْ وَقُلُوبِهِنَّ
“Dan apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka
(isteri-isteri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang
demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka” [al-Ahzaab:53]
Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu asy-Syaikh berkata: “(Dalam ayat ini)
Allah menyifati hijab/tabir sebagai kesucian bagi hati orang-orang yang
beriman, laki-laki maupun perempuan, karena mata manusia kalau tidak
melihat (sesuatu yang mengundang syahwat, karena terhalangi hijab/tabir)
maka hatinya tidak akan berhasrat (buruk). Oleh karena itu, dalam
kondisi ini hati manusia akan lebih suci, sehingga (peluang) tidak
timbulnya fitnah (kerusakan) pun lebih besar, karena hijab/tabir
benar-benar mencegah (timbulnya) keinginan-keinginan (buruk) dari
orang-orang yang ada penyakit (dalam) hatinya” [Kitab “al-Hijaabu wa
fadha-iluhu” (hal. 3).]
Sebagaimana wajib diyakini bahwa semua perbuatan yang menyelisihi
ketentuan Allah Subhanahu wa Ta’ala ini akan menimbulkan berbagai
kerusakan dan keburukan bagi kaum perempuan bahkan kaum muslimin secara
keseluruhan.
Oleh karena itulah, Allah Subhanahu wa Ta’ala melarang keras
perbuatan tabarruj (menampakkan kecantikan dan perhiasan ketika berada
di luar rumah [Juga termasuk di dalam rumah jika ada laki-laki yang
bukan mahram wanita tersebut.]) bagi kaum perempuan dan menyerupakannya
dengan perbuatan wanita di jaman Jahiliyah. Allah Azza wa Jalla
berfirman:
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى
“Dan hendaklah kalian (wahai istri-istri Nabi) menetap di rumah-rumah
kalian dan janganlah kalian bertabarruj (sering keluar rumah dengan
berhias dan bertingkah laku) seperti (kebiasaan) wanita-wanita Jahiliyah
yang dahulu” [al-Ahzaab:33].
Arti Tabarruj Dan Penjabarannya
Secara bahasa tabarruj berarti menampakkan perhiasan bagi orang-orang
asing (yang bukan mahram). [Lihat kitab “an-Nihaayatu fi gariibil
hadiitsi wal atsar” (1/289) dan “al-Qaamuushul muhiith” (hal. 231).]
Imam asy-Syaukani berkata: “at-Tabarruj adalah dengan seorang wanita
menampakkan sebagian dari perhiasan dan kecantikannya yang (seharusnya)
wajib untuk ditutupinya, yang ini dapat memancing syahwat (hasrat)
laki-laki” [Kitab “Fathul Qadiir” (4/395).]
Syaikh ‘Abdur Rahman as-Sa’di ketika menafsirkan ayat di atas, beliau
berkata: “Arti ayat ini: Janganlah kalian (wahai para wanita) sering
keluar rumah dengan berhias atau memakai wewangian, sebagaimana
kebiasaan wanita-wanita Jahiliyah yang dahulu, mereka tidak memiliki
pengetahuan (agama) dan iman. Semua ini dalam rangka mencegah keburukan
(bagi kaum wanita) dan sebab-sebabnya”. [Kitab “Taisiirul Kariimir
Rahmaan” (hal. 663).]
Syaikh Bakr Abu Zaid berkata: “Ketika Allah Azza wa Jalla
memerintahkan kaum perempuan untuk menetap di rumah-rumah mereka maka
Allah Azza wa Jalla melarang mereka dari (perbuatan) tabarruj
wanita-wanita Jahiliyah, (yaitu) dengan sering keluar rumah atau keluar
rumah dengan berhias, memakai wewangian, menampakkan wajah serta
memperlihatkan kecantikan dan perhiasan mereka yang Allah perintahkan
untuk disembunyikan.
Tabarruj (secara bahasa) diambil dari (kata) al-burj (bintang,
sesuatu yang terang dan tampak), di antara (makna)nya adalah berlebihan
dalam menampakkan perhiasan dan kecantikan, seperti kepala, wajah,
leher, dada, lengan, betis dan anggota tubuh lainnya, atau menampakkan
perhiasan tambahan.
Hal ini dikarenakan seringnya (para wanita) keluar rumah atau keluar
dengan menampakkan (perhiasan dan kecantikan mereka) akan menimbulkan
fitnah dan kerusakan yang besar (bagi diri mereka dan masyarakat)”
[Kitab “Hiraasatul fadhiilah” (hal. 44 - 45).]
Dari keterangan di atas dapat kita simpulkan bahwa penjabaran makna tabarruj meliputi dua hal, yaitu:
1. Seringnya seorang wanita keluar rumah, karena ini merupakan sebab
terjadinya fitnah dan kerusakan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda: “Sesungguhnya wanita adalah aurat, maka jika dia keluar
(rumah) Syaithan akan mengikutinya (menghiasainya agar menjadi fitnah
bagi laki-laki), dan keadaanya yang paling dekat dengan Rabbnya (Allah
Azza wa Jalla) adalah ketika dia berada di dalam rumahnya”. [HR Ibnu
Khuzaimah (no. 1685), Ibnu Hibban (no. 5599) dan at-Thabrani dalam
“al-Mu'jamul ausath” (no. 2890), dinyatakan shahih oleh Ibnu Khuzaimah,
Ibnu Hibban, al-Mundziri dan syikh al-Albani dalam "Silsilatul
ahaaditsish shahiihah" (no. 2688).]
Imam al-Qurthubi, ketika menafsirkan ayat di atas, beliau berkata:
“Makna ayat ini adalah perintah (bagi kaum perempuan) untuk menetapi
rumah-rumah mereka. Meskipun (asalnya) ini ditujukan kepada istri-istri
Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, akan tetapi secara makna
(wanita-wanita) selain mereka (juga) termasuk dalam perintah tersebut.
Ini seandainya tidak ada dalil yang khusus (mencakup) semua wanita.
Padahal (dalil-dalil dalam) syariat Islam penuh dengan (perintah) bagi
kaum wanita untuk menetapi rumah-rumah mereka dan tidak keluar rumah
kecuali karena darurat (terpaksa)” [Kitab “al-Jaami’ liahkaamil Qur-an”
(14/174).]
Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz berkata: “Allah Subhanahu wa Ta’ala
memerintahkan bagi seorang wanita untuk menetap di rumahnya dan tidak
keluar rumah kecuali untuk kebutuhan yang mubah (diperbolehkan dalm
Islam) dengan menetapi adab-adab yang disyariatkan (dalam Islam).
Sungguh Allah telah menamakan (perbuatan) menetapnya seorang wanita di
rumahnya dengan “qaraar” (tetap, stabil, tenang), ini mengandung arti
yang sangat tinggi dan mulia. Karena dengan ini jiwanya akan tenang,
hatinya akan damai dan dadanya akan lapang. Maka dengan keluar rumah
akan menyebabkan keguncangan jiwanya, kegalauan hatinya dan kesempitan
dadanya, serta membawanya kepada keadaan yang akan berakibat keburukan
baginya” [Kitab “at-Tabarruju wa khatharuhu” (hal. 22).]
Di tempat lain, beliau berkata: “Allah Azza wa Jalla memerintahkan
para wanita untuk menetapi rumah-rumah mereka, karena keluarnya mereka
dari rumah sering menjadi sebab (timbulnya) fitnah. Dan sungguh
dalil-dalil syariat menunjukkan bolehnya mereka keluar rumah jika ada
keperluan (yang sesuai syariat), dengan memakai hijab (yang benar) dan
menghindari memakai perhiasan, akan tetapi menetapnya mereka di rumah
adalah (hukum) asal dan itu lebih baik bagi mereka serta lebih jauh dari
fitnah” [Kitab “Majmuu’ul fataawa syaikh Bin Baz” (4/308).]
Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani berkata: “(Hukum) asalnya
seorang wanita tidak boleh keluar dari rumahnya kecuali kalau ada
keperluan (yang sesuai dengan syariat), sebagaimana yang disebutkan
dalam hadits shahih (riwayat) imam al-Bukhari (no. 4517) ketika turun
firman Allah Azza wa Jalla:
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى
“Dan hendaklah kalian (wahai istri-istri Nabi) menetap di rumah-rumah
kalian dan janganlah kalian bertabarruj (sering keluar rumah dengan
berhias dan bertingkah laku) seperti (kebiasaan) wanita-wanita Jahiliyah
yang dahulu” [al-Ahzaab:33]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sungguh Allah
telah mengizinkan kalian (para wanita) untuk keluar (rumah) jika (ada)
keperluan kalian (yang dibolehkan dalam syariat)” [Al-Fataawa
al-imaaraatiyyah.]
Bahkan menetapnya wanita di rumah merupakan ‘aziimatun syar’iyyah
(hukum asal yang dikuatkan dalam syariat Islam), sehingga kebolehan
mereka keluar rumah merupakan rukhshah (keringanan) yang hanya
diperbolehkan dalam keadaan darurat atau jika ada keperluan. Oleh karena
itulah, Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam tiga ayat al-Qur’an [Yaitu QS
al-Ahzaab: 33, 34 dan ath-Thalaaq:1.] menisbatkan/menggandengkan
rumah-rumah kepada para wanita, padahal jelas rumah-rumah yang mereka
tempati adalah milik para suami atau wali mereka, ini semua menunjukkan
bahwa selalu menetap dan berada di rumah adalah keadaan yang sesuai dan
pantas bagi mereka. [Lihat kitab “Hiraasatul fadhiilah” (hal. 87).]
2. Keluar rumah dengan menampakkan kecantikan dan perhiasan yang
seharusnya disembunyikan di hadapan laki-laki yang bukan mahramnya..
Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz berkata: “Allah Subhanahu wa Ta’ala
memerintahkan kaum perempuan untuk menetapi rumah-rumah mereka dan
melarang mereka dari perbuatan tabarruj (ala) jahiliyyah, yaitu
menampakkan perhiasan dan kecantikan, seperti kepala, wajah, leher,
dada, lengan, betis dan perhiasan (keindahan wanita) lainnya, karena ini
akan (menimbulkan) fitnah dan kerusakan yang besar, serta mengundang
diri kaum lelaki untuk melakukan sebab-sebab (yang membawa kepada)
perbuatan zina…” .[Kitab “at-Tabarruju wa khatharuhu” (hal. 6-7).]
Allah Azza wa Jalla memerintahkan kaum wanita untuk menyembunyikan perhiasan dan kecantikan mereka dalam firman-Nya:
وَلاَ يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ ما يُخْفِيْنَ مِنْ زِيْنَتِهِنَّ
“Dan janganlah mereka (para wanita) memukulkan kaki mereka agar orang
mengetahui perhiasan yang mereka sembunyikan”. [an-Nuur: 31]
.
Perhiasan yang dilarang untuk ditampakkan dalam ayat ini mencakup semua
jenis perhiasan, baik yang berupa anggota badan mereka maupun perhiasan
tambahan yang menghiasi fisik mereka.
Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz berkata: “Perhiasan wanita yang dilarang
untuk ditampakkan adalah segala sesuatu yang disukai oleh laki-laki dari
seorang wanita dan mengundangnya untuk melihat kepadanya, baik itu
perhiasan/keindahan asal (anggota badan mereka) ataupun perhiasan yang
bisa diusahakan (perhiasan tambahan yang menghiasi fisik mereka), yaitu
semua yang ditambahkan pada fisik wanita untuk mempercantik dan
menghiasi dirinya” [Kitab “Majmuu’ul fataawa syaikh Bin Baz” (5/227).].
Ancaman Keras Dan Keburukan Tabarruj
Dari Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash Radhiyallahu anhu, bahwa
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Akan ada di akhir
umatku (nanti) wanita-wanita yang berpakaian (tapi) telanjang, di atas
kepala mereka (ada perhiasan) seperti punuk unta, laknatlah mereka
karena (memang) mereka itu terlaknat (dijauhkan dari rahmat Allah
Subhanahu wa Ta’ala)”.
Dalam hadits lain ada tambahan: “Mereka tidak akan masuk Surga dan
tidak dapat mencium bau (wangi)nya, padahal sungguh wanginya dapat
dicium dari jarak sekian dan sekian” [Hadits pertama riwayat
ath-Thabrani dalam “al-Mu’jamush shagiir” (hal. 232) dinyatakan shahih
sanadnya oleh syaikh al-Albani dalam kitab “Jilbaabul mar-atil muslimah”
(hal. 125), dan hadits kedua riwayat imam Muslim (no. 2128).]
Dalam hadits ini terdapat ancaman keras yang menunjukkan bahwa
perbuatan tabarruj termasuk dosa besar, karena dosa besar adalah semua
dosa yang diancam oleh Allah dengan Neraka, kemurkaan-Nya, laknat-Nya,
azab-Nya, atau terhalang masuk Surga. Oleh karena itu, seluruh kaum
muslimin bersepakat menyatakan haramnya tabarruj, sebagaimana penjelasan
imam ash-Shan’ani [Lihat kitab “Hiraasatul fadhiilah” (hal. 107-108).].
Imam al-Qadhi ‘Iyadh al-Yahshubi memasukkan perbuatan tabarruj ke
dalam dosa-dosa besar berdasarkan hadits di atas, dalam kitab beliau
“al-Mu’lim syarhu shahiihi Muslim” (1/243).
Ancaman dan keburukan tabarruj lainnya yang disebutkan dalam
dalil-dalil yang shahih adalah sebagai berikut [Lihat kitab “al-Hijaabu
wa fadha-iluhu” (hal. 4-6) dan “al-‘Ajabul ‘ujaab fi asykaalil hijaab”
(hal. 79-80).]:
1. Tabarruj adalah sunnah Jahiliyah, sebagaimana dalam firman Allah:
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى
“Dan hendaklah kalian (wahai istri-istri Nabi) menetap di rumah-rumah
kalian dan janganlah kalian bertabarruj (sering keluar rumah dengan
berhias dan bertingkah laku) seperti (kebiasaan) wanita-wanita Jahiliyah
yang dahulu” [al-Ahzaab:33].
2. Tabarruj digandengakan dengan syirik, zina, mencuri dan dosa-dosa
besar lainnya, sehingga Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
menjadikan salah satu syarat untuk membai’at para wanita muslimah dengan
meninggalkan tabarruj. Dari Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash Radhiyallahu
anhu, beliau berkata: Umaimah bintu Ruqaiqah datang menemui Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk membai’at beliau Shallallahu ‘alaihi
wa sallam atas agama Islam. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda: “Aku membai’at kamu atas (dasar) kamu tidak
menyekutukan Allah dengan sesuatu, tidak mencuri, tidak berzina, tidak
membunuh anak-anakmu, tidak berbuat dusta yang kamu ada-adakan antara
kedua tangan dan kakimu, tidak meratapi mayat, dan tidak melakukan
tabarruj (sering keluar rumah dengan berhias dan bertingkah laku)
seperti (kebiasaan) wanita-wanita Jahiliyah yang dahulu” [HR Ahmad
(2/196) dan dinyatakan hasan oleh syaikh al-Albani dalam kitab
“Jilbaabul mar-atil muslimah” (hal. 121).]
3. Ancaman keras dengan kebinasan bagi wanita yang melakukan
tabarruj. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Ada tiga
golongan manusia yang jangan kamu tanyakan tentang mereka (karena mereka
akan ditimpa kebinasaan besar): orang yang meninggalkan jamaah (kaum
muslimin) dan memberontak kepada imamnya (penguasa/pemerintah) lalu dia
mati dalam keadaan itu, budak wanita atau laki-laki yang lari (dari
majikannya) lalu dia mati (dalam keadaan itu), dan seorang wanita yang
(ketika) suaminya tidak berada di rumah (dalam keadaan) telah dicukupkan
keperluan dunianya (hidupnya), lalu dia melakukan tabarruj setelah itu,
maka jangan tanyakan tentang mereka ini” [HR Ahmad (6/19) dan al-Hakim
(1/206), dinyatakan shahih oleh imam al-Hakim, adz-Dzahabi dan syaikh
al-Albani dalam kitab “Jilbaabul mar-atil muslimah” (hal. 119).]
4. Imam adz-Dzahabi menjadikan perbuatan tabarruj yang dilakukan oleh
banyak wanita termasuk sebab yang menjadikan mayoritas mereka termasuk
penghuni Neraka [Lihat keterangan syaikh al-Albani dalam kitab
“Jilbaabul mar-atil muslimah” (hal. 232).], na’uudzu billahi min
dzaalik. Ucapan beliau akan kami nukil secara lengkap dalam makalah ini,
insya Allah.
Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu asy-Syaikh [Dalam kitab beliau
“al-Hijaabu wa fadha-iluhu” (hal. 4-6).] menjelaskan secara khusus
keburukan-keburukan perbuatan tabarruj berdasarkan dalil-dali dalam
al-Qur’an dan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, di
antaranya sebagai berikut:
- Tabarruj adalah maksiat kepada Allah dan Rasul-Nya Shallallahu
‘alaihi wa sallam, sebagaimana dalil-dalil yang telah kami sebutkan.
- Tabarruj akan membawa laknat dan dijauhkan dari rahmat Allah,
sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Akan ada di
akhir umatku (nanti) wanita-wanita yang berpakaian (tapi) telanjang, di
atas kepala mereka (ada perhiasan) seperti punuk unta, laknatlah mereka
karena (memang) mereka itu terlaknat (dijauhkan dari rahmat Allah
Subhanahu wa Ta’ala)” [HR ath-Thabrani dalam “al-Mu’jamush shagiir”
(hal. 232) dinyatakan shahih sanadnya oleh syaikh al-Albani dalam kitab
“Jilbaabul mar-atil muslimah” (hal. 125).].
- Tabarruj termasuk sifat wanita penghuni Nereka, sebagaimana sabda
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Ada dua golongan termasuk
penghuni Neraka yang aku belum melihat mereka: (pertama) orang-orang
yang memegang cambuk seperti ekor sapi, (digunakan) untuk
memukul/menyiksa manusia, (kedua) Wanita-wanita yang berpakaian (tapi)
telanjang…” [HSR Muslim (no. 2128).]
- Tabarruj adalah kesuraman dan kegelapan pada hari kiamat. Syaikh
Muhammad bin Ibrahim Alu asy-Syaikh di sini berdalil dengan sebuah
hadits yang lemah tapi maknanya benar.
- Tabarruj adalah perbuatan fahisyah (keji). Karena wanita adalah
aurat, maka menampakkan aurat termasuk perbuatan keji dan dimurkai oleh
Allah, Syaithanlah yang menyuruh manusia melakukan perbuatan keji. Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
إِنَّمَا يَأْمُرُكُمْ بِالسُّوءِ وَالْفَحْشَاءِ وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُون
“Sesungguhnya syaithan itu hanya menyuruh kamu berbuat buruk (semua
maksiat) dan keji, dan mengatakan tentang Allah apa yang tidak kamu
ketahui” [al-Baqarah:169].
- Tabarruj adalah sunnah dari Iblis. Karena dia berusaha keras untuk
membuka aurat dan menyingkap hijab mereka, maka tabarruj merupakan
target utama (tipu daya) Iblis. Allah Jalaa Jalaaluh berfirman:
يَا بَنِي آدَمَ لا يَفْتِنَنَّكُمُ الشَّيْطَانُ كَمَا أَخْرَجَ
أَبَوَيْكُمْ مِنَ الْجَنَّةِ يَنزعُ عَنْهُمَا لِبَاسَهُمَا لِيُرِيَهُمَا
سَوْآتِهِمَا
“Hai anak Adam, janganlah sekali-kali kamu dapat ditipu oleh Syaitan
sebagaimana dia telah mengeluarkan kedua ibu bapakmu (Adam dan Hawa)
dari Surga, dia menanggalkan dari keduanya pakaiannya untuk
memperlihatkan kepada keduanya ‘auratnya” [al-A’raaf: 27]
- Tabarruj adalah metode penyesatan orang-orang Yahudi. Karena mereka
mempunyai peranan besar dalam upaya merusak kehidupan manusia melalui
cara memperlihatkan fitnah dan kecantikan wanita, dan mereka sangat
berpengalaman dalam bidang ini. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda: “Takutlah kalian kepada (fitnah) dunia, dan takutlah kepada
(fitnah) wanita, karena sesungguhnya fitnah pertama yang melanda Bani
Israil adalah tentang wanita” [HSR Muslim (no. 2742).].
Bentuk-Bentuk Tabarruj [Ringkasan dari pembahasan
dalam kitab “al-‘Ajabul ‘ujaab fi asykaalil hijaab” (hal. 87-109),
tulisan syaikh ‘Abdul Malik bin Ahmad Ramadhani, dengan sedikit
tambahan.]
1. Termasuk tabarruj: mengenakan jilbab yang tidak menutupi dan
meliputi seluruh badan wanita, seperti jilbab yang diturunkan dari kedua
pundak dan bukan dari atas kepala [Lihat “fataawa lajnah daimah”
(17/141).]. Ini bertentangan dengan makna firman Allah Subhanahu wa
Ta’ala:
يُدْنِيْنَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلاَبِيْبِهِنَّ
“Hendaknya mereka mengulurkan jilbab mereka ke seluruh tubuh mereka” [al-Ahzaab: 59].
Karena jilbab seperti ini akan membentuk/mencetak bagian atas tubuh
wanita dan ini jelas bertentangan dengan jilbab yang sesuai syariat
Islam.
2. Termasuk tabarruj: mengenakan jilbab/pakaian yang terpotong dua
bagian, yang satu untuk menutupi tubuh bagian atas dan yang lain untuk
bagian bawah. Ini jelas bertentangan dengan keterangan para ulama yang
menjelaskan bahwa jilbab itu adalah satu pakaian yang menutupi seluruh
tubuh wanita dari atas sampai ke bawah, sehingga tidak membentuk
bagian-bagian tubuh wanita yang memakainya.
3. Termasuk tabarruj: memakai jilbab yang justru menjadi perhiasan bagi wanita yang mengenakannya.
Hikmah besar disyariatkan memakai jilbab bagi wanita ketika keluar
rumah adalah untuk menutupi kecantikan dan perhiasannya dari pandangan
laki-laki yang bukan mahramnya, sebagaimana firman-Nya:
وَلاَ يُبْدِيْنَ زِيْنَتَهُنَّ إلا لِبُعُوْلَتِهِنَّ أو آبائِهِنَّ…
“Dan janganlah mereka (wanita-wanita yang beriman) menampakkan
perhiasan mereka kecuali kepada suami-suami mereka, atau bapak-bapak
mereka…” [an-Nuur: 31].
Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani berkata: “Tujuan
diperintahkannya (memakai) jilbab (bagi wanita) adalah untuk menutupi
perhiasannya, maka tidak masuk akal jika jilbab (yang dipakainya justru)
menjadi perhiasan (baginya). Hal ini, sebagaimana yang anda lihat,
sangat jelas dan tidak samar” [Kitab “Jilbaabul mar-atil muslimah” (hal.
120).]
Termasuk dalam hal ini adalah “jilbab gaul” atau “jilbab modis” yang
banyak dipakai oleh wanita muslimah di jaman ini, yang dihiasi dengan
renda-renda, bordiran, hiasan-hiasan dan warna-warna yang jelas sangat
menarik perhatian dan justru menjadikan jilbab yang dikenakannya sebagai
perhiasan baginya.
Insya Allah, pembahasan tentang ini akan penulis ulas lebih rinci pada pembahasan berikutnya dalam tulisan ini.
4. Termasuk tabarruj: mengenakan jilbab dan pakaian yang tipis atau transparan.
Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani berkata: “Adapun pakaian tipis
maka itu akan semakin menjadikan seorang wanita bertambah (terlihat)
cantik dan menggoda. Dalam hal ini, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda: “Akan ada di akhir umatku (nanti) wanita-wanita yang
berpakaian (tapi) telanjang, di atas kepala mereka (ada perhiasan)
seperti punuk unta, laknatlah mereka karena (memang) mereka itu
terlaknat (dijauhkan dari rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala)”.
Dalam hadits lain ada tambahan: “Mereka tidak akan masuk Surga dan
tidak dapat mencium bau (wangi)nya, padahal sungguh wanginya dapat
dicium dari jarak sekian dan sekian” [Hadits pertama riwayat
ath-Thabrani dalam “al-Mu’jamush shagiir” (hal. 232) dinyatakan shahih
sanadnya oleh syaikh al-Albani, dan hadits kedua riwayat imam Muslim
(no.]
Imam Ibnu ‘Abdil Barr berkata: “Maksud Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam (dalam hadits ini) adalah wanita-wanita yang mengenakan
pakaian (dari) bahan tipis yang transparan dan tidak menutupi (dengan
sempurna), maka mereka disebut berpakaian tapi sejatinya mereka
telanjang” [Kitab “Jilbaabul mar-atil muslimah” (hal. 125-126).]
Dalam sebuah atsar yang diriwayatkan oleh imam Malik dalam
“al-Muwaththa’” (2/913) dan Muhammad bin Sa’ad dalam “ath-Thabaqaatul
Kubra” (8/72), dari Ummu ‘Alqamah dia berkata: “Aku pernah melihat
Hafshah bintu ‘Abdur Rahman bin Abu Bakr menemui ‘Aisyah Radhiyallahu
anhuma dengan memakai kerudung yang tipis (sehingga) menampakkan
dahinya, maka ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma merobek kerudung tersebut dan
berkata: “Apakan kamu tidak mengetahui firman Allah yang diturunkan-Nya
dalam surah an-Nuur?”. Kemudian ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma meminta
kerudung lain dan memakaikannya”.
5. Termasuk tabarruj: mengenakan jilbab/pakaian yang menggambarkan
(bentuk) tubuh meskipun kainnya tidak tipis, seperti jilbab/pakaian yang
ketat yang dikenakan oleh banyak kaum wanita jaman sekarang, sehingga
tergambar jelas postur dan anggota tubuh mereka.
Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani berkata: “Karena tujuan dari
memakai jilbab adalah supaya tidak timbul fitnah, yang ini hanya dapat
terwujud dengan (memakai) jilbab yang longgar dan tidak ketat. Adapun
jilbab/pakaian yang ketat, meskipun menutupi kulit akan tetapi membentuk
postur tubuh wanita dan menggambarkannya pada pandangan mata laki-laki.
Ini jelas akan menimbulkan kerusakan (fitnah) dan merupakan pemicunya,
oleh karena itu (seorang wanita) wajib (mengenakan) jilbab/pakaian yang
longgar” [Kitab “Jilbaabul mar-atil muslimah” (hal. 131).]
Termasuk dalam larangan ini adalah memakai jilbab/pakaian dari bahan
kain yang lentur (jatuh) sehingga mengikuti lekuk tubuh wanita yang
memakainya, sebagaimana hal ini terlihat pada beberapa jenis pakaian
yang dipakai para wanita di jaman ini [Lihat kitab “Jilbaabul mar-atil
muslimah” (hal. 132-133). Termasuk dalam hal ini adalah jilbab dari kain
kaos yang lentur dan jelas membentuk anggota tubuh wanita yang
memakainya, wallahu a’lam.]
Dalam fatwa Lajnah daimah no. 21352, tertanggal 9/3/1421 H, tentang
syarat-syarat pakaian/jilbab yang syar’i bagi wanita, disebutkan di
antaranya: hendaknya pakaian/jilbab tersebut (kainnnya) tebal (sehingga)
tidak menampakkan bagian dalamnya, dan pakaian/jilbab tersebut
(kainnya) tidak bersifat menempel (di tubuh) [Fataawa al-Lajnah
ad-daaimah (17/141).]
Adapun dalil yang menunjukkan hal ini adalah hadits yang diriwayatkan
oleh shahabat yang mulia, Usamah bin Zaid Shallallahu ‘alaihi wa
sallam, beliau berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
memakaikan untukku pakaian qibthiyah (dari negeri Mesir) yang tebal,
pakaian itu adalah hadiah dari Dihyah al-Kalbi untuk Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian pakaian itu aku berikan untuk
istriku, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya
kepadaku: “Kenapa kamu tidak memakai pakaian qibthiyah tersebut?”. Aku
berkata: “Aku memakaikannya untuk istriku”. Maka Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda: “Suruh istrimu untuk memakai pakaian dalam
di bawah pakaian qibthiyah tersebut, karena sungguh aku khawatir pakaian
tersebut akan membentuk postur tulangnya (tubuhnya)” [HR Ahmad (5/205)
dan lain-lain, dinyatakan hasan oleh syaikh al-Albani dalam kitab
“Jilbaabul mar-atil muslimah” (hal. 131).].
Dalam hadits ini ada satu faidah penting, yaitu bahwa pakaian
qibthiyah tersebut adalah pakaian dari kain yang tebal, tapi meskipun
demikian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan bagi
wanita yang mengenakanya untuk memakai di dalamnya pakain dalam lain,
agar bentuk badan wanita tersebut tidak terlihat, terlebih lagi jika
pakaian tersebut dari bahan kain yang lentur (jatuh) sehingga mengikuti
lekuk tubuh wanita yang memakainya.
Imam Ibnu Sa’ad meriwayatkan sebuah atsar dari Hisyam bin ‘Urwah
bahwa ketika al-Mundzir bin az-Zubair datang dari ‘Iraq, beliau
mengirimkan sebuah pakaian kepada ibunya, Asma’ binti Abu Bakar
Radhiyallahu anhuma, pada waktu itu Asma’ Radhiyallahu anhuma dalam
keadaan buta matanya. Lalu Asma’ Radhiyallahu anhuma meraba pakaian
tersebut dengan tangannya, kemudian beliau berkata: “Cih! Kembalikan
pakaian ini padanya!”. al-Mundzir merasa berat dengan penolakan ini dan
berkata kepada ibunya: Wahai ibuku, sungguh pakaian ini tidak tipis!
Maka Asma’ Radhiyallahu anhuma berkata: “Meskipun pakaian ini tidak
tipis tapi membentuk (tubuh orang yang memakainya” [Riwayat Ibnu Sa’ad
dalam “ath-Thabaqaatul kubra” (8/252) dinyatakan shahih oleh syaikh
al-Albani dalam kitab “Jilbaabul mar-atil muslimah” (hal. 127).].
6. Termasuk tabarruj: wanita yang keluar rumah dengan memakai minyak wangi.
Dari Abu Musa al-Asy’ari Radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam betrsabda: “Seorang wanita, siapapun dia, jika dia
(keluar rumah dengan) memakai wangi-wangian, lalu melewati kaum
laki-laki agar mereka mencium bau wanginya maka wanita itu adalah
seorang pezina” [HR an-Nasa'i (no. 5126), Ahmad (4/413), Ibnu Hibban
(no. 4424) dan al-Hakim (no. 3497), dinyatakan shahih oleh imam Ibnu
Hibban, al-Hakim dan adz-Dzahabi, serta dinyatakan hasan oleh syaikh
al-Albani.].
Bahkan dalam hadits shahih lainnya [Lihat kitab “Silsilatul
ahaadiitsish shahiihah” (no. 1031).], Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam menyebutkan larangan ini juga berlaku bagi wanita yang keluar
rumah memakai wangi-wangian untuk shalat berjamaah di mesjid, maka tentu
larangan ini lebih keras lagi bagi wanita yang keluar rumah untuk ke
pasar, toko dan tempat-tempat lainnya.
Oleh karena itu, imam al-Haitami menegaskan bahwa keluar rumahnya
seorang wanita dengan memakai wangi-wangian dan bersolek, ini termasuk
dosa besar meskipun diizinkan oleh suaminya [Dinukil oleh syaikh
al-Albani dalam kitab “Jilbaabul mar-atil muslimah” (hal. 139).]
Imam Ibnul Qayyim berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
melarang perempuan keluar rumah dengan memakai atau menyentuh
wangi-wangian dikarenakan hal ini sungguh merupakan sarana (sebab) untuk
menarik perhatian laki-laki kepadanya. Karena baunya yang wangi,
perhiasannya, posturnya dan kecantikannya yang diperlihatkan sungguh
mengundang (hasrat laki-laki) kepadanya. Oleh karena itu, Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan seorang wanita ketika keluar
rumah (untuk shalat berjamaah di mesjid) agar tidak memakai
wangi-wangian, berdiri (di shaf) di belakang jamaah laki-laki, dan tidak
bertasbih (sebagaimana yang diperintahkan kepada laki-laki) ketika
terjadi sesuatu dalam shalat, akan tetapi (wanita diperintahkan untuk)
bertepuk tangan (ketika terjadi sesuatu dalam shalat). Semua ini dalam
rangka menutup jalan dan mencegah terjadinya kerusakan (fitnah)” [Kitab
“I’lamul muwaqqi’iin” (3/178).].
7. Termasuk tabarruj: wanita yang memakai pakaian yang menyerupai pakaian laki-laki.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu beliau berkata: “Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat laki-laki yang mengenakan pakaian
perempuan, dan perempuan yang mengenakan pakaian laki-laki” [HR Abu
Dawud (no. 4098), Ibnu Majah (1/588), Ahmad (2/325), al-Hakim (4/215)
dan Ibnu Hibban (no. 5751), dinyatakan shahih oleh Ibnu Hibban,
al-Hakim, adz-Dzahabi dan syaikh al-Albani. Lihat kitab “Jilbaabul
mar-atil muslimah” (hal. 141).]
Dari Abdullah bin ‘Abbas Radhiyallahu anhu beliau berkata:
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat laki-laki yang
menyerupai wanita dan wanita yang menyerupai laki-laki” [HSR al-Bukhari
(no. 5546).]
Kedua hadits di atas dengan jelas menunjukkan haramnya wanita yang
menyerupai laki-laki, begitu pula sebaliknya, baik dalam berpakaian
maupun hal lainnya [Lihat kitab “Jilbaabul mar-atil muslimah” (hal.
146-147).]
Oleh karena itulah, para ulama salaf melarang keras wanita yang
memakai pakaian yang khusus bagi laki-laki. Dari Ibnu Abi Mulaikah bahwa
‘Aisyah Radhiyallahu anhuma pernah ditanya tentang wanita yang memakai
sendal (yang khusus bagi laki-laki), maka beliau menjawab: “Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat wanita yang menyerupai laki-laki”
[HR Abu Dawud (no. 4099) dan dinyatakan shahih oleh syaikh al-Albani.]
Imam Ahmad bin Hambal pernah ditanya tentang seorang yang memakaikan
budak perempuannya sarung yang khusus untuk laki-laki, maka beliau
berkata: “Tidak boleh dia memakaikan padanya pakaian (model) laki-laki,
tidak boleh dia menyerupakannya dengan laki-laki” [Kitab “Masa-ilul imam
Ahmad” karya imam Abu Dawud (hal. 261).]
Termasuk yang dilarang oleh para ulama dalam hal ini adalah wanita
yang memakai sepatu olahraga model laki-laki, memakai jaket dan celana
panjang model laki-laki [Lihat kitab “Jilbaabul mar-atil muslimah” (hal.
150), “Syarhul kaba-ir” (hal. 212) tulisan syaikh al-‘Utsaimin dan
“al-‘Ajabul ‘ujaab fi asykaalil hijaab” (hal. 100-101).]
Juga perlu diingatkan di sini, bahwa larangan wanita yang menyerupai
laki-laki dan sebaliknya berlaku secara mutlak di manapun mereka
berada,di dalam rumah maupun di luar, karena ini diharamkan pada zatnya
dan bukan sekedar karena menampakkan aurat [Lihat keterangan syaikh
al-Albani dalam kitab “Jilbaabul mar-atil muslimah” (hal. 38) dan syaikh
al-‘Utsaimin dalam “Syarhul kaba-ir” (hal. 212).].
8. Termasuk tabarruj: wanita yang memakai pakaian syuhrah, yaitu
pakaian yang modelnya berbeda dengan pakaian wanita pada umumnya, dengan
tujuan untuk membanggakan diri dan populer.[Lihat kitab “Jilbaabul
mar-atil muslimah” (hal. 213).]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang
memakai pakaian syuhrah di dunia maka Allah akan memakaikan kepadanya
pakaian kehinaan pada hari kiamat (nanti), kemudian dinyalakan padanya
api Neraka” [HR Abu Dawud (no. 4029), Ibnu Majah (no. 3607 dan Ahmad
(2/92), dinyatakan hasan oleh syaikh al-Albani.]
Kaum wanita yang paling sering terjerumus dalam penyimpangan ini,
karena sikap mereka yang selalu ingin terlihat menarik secara berlebihan
serta ingin tampil istimewa dan berbeda dengan yang lain. Oleh karena
itu, mereka memberikan perhatian sangat besar kepada perhiasan dan
dandanan untuk menjadikan indah penampilan mereka.
Berapa banyak kita melihat wanita yang tidak segan-segan mengorbankan
biaya, waktu dan tenaga yang besar hanya untuk menghiasi dan
memperindah model pakaiannya, supaya dia tampil beda dengan pakaian yang
dipakai wanita-wanita lainnya. Maka dengan itu dia jadi terkenal,
bahkan model pakaiannya menjadi ‘trend’ di kalangan para wanita dan dia
disebut sebagai wanita yang tau model pakaian jaman sekarang.
Perbuatan ini termasuk tabarruj karena wanita yang memakai pakaian
ini ingin memperlihatkan keindahan dan perhiasannya yang seharusnya
disembunyikan.
Larangan ini juga berlaku secara mutlak, di dalam maupun di luar
rumah, karena ini diharamkan pada zatnya [Lihat keterangan syaikh
al-Albani dalam kitab “Jilbaabul mar-atil muslimah” (hal. 38).].
Tabarruj Dalam Berpakaian
Sebagaimana keterangan yang telah kami sebutkan di atas, bahwa tujuan
disyariatkannya jilbab bagi perempuan adalah untuk menutupi perhiasan
dan kecantikan mereka ketika mereka berada di luar rumah atau di hadapan
laki-laki yang bukan suami atau mahramnya.
Oleh karena itu, tidak diragukan lagi, wanita yang keluar rumah
memakai pakaian atau jilbab yang dihiasi dengan bordiran, renda, ukiran,
motif dan yang sejenisnya, ini jelas merupakan bentuk tabarruj, karena
pakaian/jilbab ini menampakkan perhiasan dan keindahan yang seharusnya
disembunyikan.
Maka meskipun pakaian atau jilbab tersebut dari bahan kain yang
longgar dan tidak tipis, akan tetapi kalau dihiasi dengan hiasan-hiasan
yang menarik perhatian atau dengan model yang justru semakin memperindah
penampilan wanita yang mengenakannya maka ini jelas termasuk tabarruj.
Kemudian kalau kita tanyakan kepada wanita yang menambahkan bordiran,
renda, ukiran, motif dan yang sejenisnya pada pakaian luarnya, apa
tujuannya?, maka tentu dia akan menjawab: supaya indah, untuk hiasan,
supaya keren, dan kalimat lain yang senada.
Maka dengan ini jelas bahwa tujuan ditambahkannya bordiran, renda,
ukiran dan motif pada pakaian wanita adalah untuk hiasan dan keindahan,
sedangkan syariat Islam memerintahkan bagi para wanita untuk menutupi
dan tidak memperlihatkan perhiasan dan keindahan mereka kepada selain
mahram atau suami mereka.
Bahkan kalau kita merujuk pada pengertian bahasa, kita dapati dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI online) bahwa motif/ renda/ bordir
juga disebut sebagai hiasan.
Pakaian dan jilbab seperti ini telah disebutkan oleh para ulama sejak
dahulu sampai sekarang, disertai dengan peringatan keras akan
keharamannya.
Imam adz-Dzahabi berkata [Kitab “al-Kaba-ir” (hal. 134).]: “Termasuk
perbuatan (buruk) yang menjadikan wanita dilaknat (dijauhkan dari rahmat
Allah Subhanahu wa Ta’ala) yaitu memperlihatkan perhiasan, emas dan
mutiara (yang dipakainya) di balik penutup wajahnya, memakai
wangi-wangian dengan kesturi atau parfum ketika keluar (rumah), memakai
pakaian yang diberi celupan warna (yang menyolok), kain sutra dan
pakaian pendek, disertai dengan memanjangkan pakaian luar, melebarkan
dan memanjangkan lengan baju, serta hiasan-hiasan lainnya ketika keluar
(rumah). Semua ini termasuk tabarruj yang dibenci oleh Allah dan
pelakunya dimurkai oleh-Nya di dunia dan akhirat. Oleh karena perbuatan
inilah, yang telah banyak dilakukan oleh para wanita, sehingga Rasululah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang mereka: “Aku melihat
Neraka, maka aku melihat kebanyakan penghuninya adalah para wanita” [HSR
al-Bukhari (no. 3069) dan Muslim (no. 2737).]
Perhatikan ucapan imam adz-Dzahabi ini, bagaimana beliau menjadikan
perbuatan tabarruj yang dilakukan oleh banyak wanita adalah termasuk
sebab yang menjadikan mayoritas mereka termasuk penghuni Neraka [Lihat
keterangan syaikh al-Albani dalam kitab “Jilbaabul mar-atil muslimah”
(hal. 232).], na’uudzu billahi min dzaalik.
Imam Abul Fadhl al-Alusi berkata: “Ketahuilah, sesungguhnya ada
sesuatu yang menurutku termasuk perhiasan wanita yang dilarang untuk
ditampakkan, yaitu perhiasan yang dipakai oleh kebanyakan wanita yang
terbiasa hidup mewah di jaman kami di atas pakaian luar mereka dan
mereka jadikan sebagai hijab waktu mereka keluar rumah. Yaitu kain
penutup tenunan dari (kain) sutra yang berwarna-warni, memiliki ukiran
(bordiran/sulaman berwarna) emas dan perak yang menyilaukan mata. Aku
memandang bahwa para suami dan wali yang membiarkan istri-istri mereka
keluar rumah dengan perhiasan tersebut, sehinga mereka berjalan di
kumpulan kaum laki-laki yang bukan mahram mereka dengan perhiasan
tersebut, ini termasuk (hal yang menunjukkan) lemahnya kecemburuan
(dalam diri para suami dan wali mereka), dan sungguh kerusakan ini telah
tersebar merata” [Kitab “Ruuhul ma’aani” (18/146).]
Fatwa lajnah daimah (kumpulan ulama besar ahli fatwa) di Arab Saudi,
yang diketuai oleh syaikh ‘Abdl ‘Azizi Alu asy-Syaikh, beranggotakan:
syaikh Shaleh al-Fauzan, syaikh Bakr Abu Zaid dan syaikh Abdullah bin
Gudayyan. Fatwa no. 21352, tertanggal 9/3/1421 H, isinya sebagai
berikut: “’Abayah (baju kurung/baju luar) yang disyariatkan bagi wanita
adalah jilbab yang terpenuhi padanya tujuan syariat Islam (dalam
mentapkan pakaian bagi wanita), yaitu menutupi (perhiasan dan kecantikan
wanita) dengan sempurna dan menjauhkan (wanita) dari fitnah. Atas dasar
ini, maka ‘abayah wanita harus terpenuhi padanya sifat-sifat
(syarat-syarat) berikut: …Yang ke empat: ‘abayah tersebut tidak diberi
hiasan-hiasan yang menarik perhatian. Oleh karena itu, ‘abayah tersebut
harus polos dari gambar-gambar, hiasan (pernik-pernik), tulisan-tulisan
(bordiran/sulaman) maupun simbol-simbol” [Fataawa al-Lajnah ad-daaimah
(17/141).]
Syaikh Muhammad bin Shaleh al-‘Utsaimin pernah diajukan kepada beliau pertanyaan berikut:
“Akhir-akhir ini muncul di kalangan wanita (model) ‘abayah (pakaian
luar/baju kurung) yang lengannya sempit dan di sekelilingnya (dihiasi)
bordir-bordir atau hiasan lainnya. Ada juga sebagian ‘abayah wanita yang
bagian ujung lengannya sangat tipis, bagaimanakah nasihat Syaikh
terhadap permasalahan in?”
Jawaban beliau:
“Kita mempunyai kaidah penting (dalam hal ini), yaitu (hukum asal) dalam
pakaian, makanan, minuman dan (semua hal yang berhubungan dengan)
mu’amalah adalah mubah/boleh dan halal. Siapapun tidak boleh
mengharamkannya kecuali jika ada dalil yang menunjukkan keharamannya.
Maka jika kaidah ini telah kita pahami, dan ini sesuai dengan dalil
dalam al-Qur’an dan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Allah Azza wa Jalla berfirman:
هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعاً
“Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kalian” [al-Baqarah: 29].
Dan Firman-Nya:
قُلْ مَنْ حَرَّمَ زِينَةَ اللَّهِ الَّتِي أَخْرَجَ لِعِبَادِهِ وَالطَّيِّبَاتِ مِنَ الرِّزْقِ
“Katakanlah: “Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang
Telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang
mengharamkan) rezki yang baik?” Katakanlah: “Semuanya itu (disediakan)
bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk
mereka saja) di hari kiamat” [al-A’raaf: 32]
.
Maka segala sesuatu yang tidak diharamkan oleh Allah dalam
perkara-perkara ini berarti itu halal. Inilah (hukum) asal (dalam
masalah ini), kecuali jika ada dalil dalam syariat yang mengharamkannya,
seperti haramnya memakai emas dan sutra bagi laki-laki, selain dalam
hal yang dikecualikan, haramnya isbal (menjulurkan kain melewati mata
kaki) pada sarung, celana, gamis dan pakaian luar bagi laki-laki, dan
lain-lain.
Maka apabila kita terapkan kaidah ini untuk masalah ini, yaitu (hukum
memakai) ‘abayah (model) baru ini, maka kami katakan: bahwa (hukum)
asal pakaian (wanita) adalah dibolehkan, akan tetapi jika pakaian
tersebut menarik perhatian atau (mengundang) fitnah, karena terdapat
hiasan-hiasan bordir yang menarik perhatian (bagi yang melihatnya), maka
kami melarangnya, bukan karena pakaian itu sendiri, tetapi karena
pakaian itu menimbulkan fitnah” [Liqa-aatil baabil maftuuh (46/17).]
Di tempat lain beliau berkata: “Memakai ‘abayah (baju kurung) yang
dibordir dianggap termasuk tabarruj (menampakkan) perhiasan dan ini
dilarang bagi wanita, sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla:
وَالْقَوَاعِدُ مِنَ النِّسَاءِ اللَّاتِي لا يَرْجُونَ نِكَاحاً
فَلَيْسَ عَلَيْهِنَّ جُنَاحٌ أَنْ يَضَعْنَ ثِيَابَهُنَّ غَيْرَ
مُتَبَرِّجَاتٍ بِزِينَةٍ
“Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haid dan
mengandung) yang tiada ingin kawin (lagi), maka tidak ada dosa atas
mereka untuk menanggalkan pakaian (luar) mereka dengan tidak (bermaksud)
menampakkan perhiasan” [an-Nuur: 60]
Kalau penjelasan dalam ayat ini berlaku untuk perempuan-perempuan tua
maka terlebih lagi bagi perempuan yang masih muda” [Kitab “Majmu’ul
fataawa war rasa-il” (12/232).]
.
Syaikh Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim berkata: “Yang jelas
merupakan pakaian wanita yang menjadi perhiasan baginya adalah pakaian
yang dibuat dari bahan yang berwarna-warni atau berukiran
(bordiran/sulaman berwarna) emas dan perak yang menarik perhatian dan
menyilaukan mata” [Kitab “Shahiihu fiqhis sunnah” (3/34).].
Kemudian, perlu juga kami ingatkan di sini, bahwa berdasarkan
keterangan di atas, maka termasuk tabarruj yang diharamkan bagi wanita
adalah membawa atau memakai beberapa perlengkapan wanita, seperti tas,
dompet, sepatu, sendal, kaos kaki, dan lain-lain, jika perlengkapan
tersebut memiliki bentuk, motif atau hiasan yang menarik perhatian,
sehingga itu termasuk perhiasan wanita yang wajib untuk disembunyikan.
Syaikh Muhammad bin Shaleh al-‘Utsaimin berkata: “Memakai sepatu yang
(berhak) tinggi (bagi wanita) tidak diperbolehkan, jika itu di luar
kebiasaan (kaum wanita), membawa kepada perbuatan tabarruj, nampaknya
(perhiasan) wanita dan membuatnya menarik perhatian (laki-laki), karena
Allah Azza wa Jalla berfirman:
وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى
“Dan janganlah kalian (para wanita) bertabarruj (sering keluar rumah
dengan berhias dan bertingkah laku) seperti (kebiasaan) wanita-wanita
Jahiliyah yang dahulu” [al-Ahzaab:33]
Maka segala sesuatu yang membawa wanita kepada perbuatan tabarruj,
nampaknya (perhiasan)nya dan tampil bedanya seorang wanita dari para
wanita lainnya dalam hal mempercantik (diri), maka ini diharamkan dan
tidak boleh bagi wanita” [Majmuu’atul as-ilatin tahummul usratal
muslimah (hal. 10).]
Warna Pakaian Wanita Termasuk Perhiasan ?
Syaikh al-Albani berkata: “Ketahuilah bahwa bukanlah termasuk perhiasan
sedikitpun jika pakaian wanita yang dipakainya berwarna selain putih
atau hitam, sebagaimana persangkaan keliru beberapa wanita yang kuat
berpegang (dengan syariat Islam), hal ini karena dua alasan:
- Pertama: sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Parfum
wanita adalah yang terang warnanya dan samar baunya” [HR at-Tirmidzi
(no. 2788) dan an-Nasa-i (no. 5118), dinyatakan shahih oleh syaikh
al-Albani.]
- Kedua: Perbuatan para wanita di jaman para shahabat Radhiyallahu
anhum…kemudian syaikh al-Albani menukil beberapa riwayat yang
menjelaskan bahwa para wanita tersebut memakai pakaian berwarna merah,
bahkan di antara mereka istri-istri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam…” [Kitab “Jilbaabul mar-atil muslimah” (hal. 121-123).].
Dari penjelasan syaikh al-Albani di atas, kalau kita gabungkan dengan
ucapan para ulama lainnya, yang beberapa di antaranya telah kami
nukilkan di atas, dapat kita simpulkan bahwa warna pakaian wanita tidak
termasuk perhiasan yang tidak boleh ditampakkan, dengan syarat warna
tersebut tidak terang dan menyolok sehingga menarik perhatian bagi
laki-laki yang melihatnya. Oleh karena itulah, syaikh al-Albani sendiri
menyampaikan keterangan beliau di atas pada pembahasan syarat-syarat
pakaian wanita yang sesuai dengan syariat, yaitu pada syarat kedua:
pakaian tersebut bukan merupakan perhiasan (bagi wanita yang memakainya)
pada zatnya [Ibid (hal. 119).]
Maka pakaian wanita boleh memakai warna selain hitam, misalnya biru
tua, hijau tua, coklat tua dan warna-warna lainnya yang tidak terang dan
menyolok.
Meskipun demikian, sebagian dari para ulama menegaskan bahwa warna
hitam untuk pakaian wanita adalah lebih utama karena lebih menutupi
perhiasan dan kecantikan wanita.
Syaikh Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim berkata: “Sungguh pakaian
(berwarna) hitam adalah pakaian yang lebih utama bagi wanita dan lebih
menutupi (diri)nya. Inilah pakaian istri-istri Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits (riwayat)
‘Aisyah Radhiyallahu anhuma ketika Shafwan Radhiyallahu anhuma
melihatnya (dari kejauhan), dalam hadits tersebut disebutkan: “…maka
Shafwan melihat (sesuatu yang) hitam (yaitu) orang yang sedang tidur
(‘Aisyah Radhiyallahu anhuma)”. Dan dalam hadits (riwayat) ‘Aisyah
Radhiyallahu anhuma lainnya, beliau menyebutkan bahwa para wanita Anshar
Radhiyallahu anhuma keluar rumah (dengan jilbab hitam) seolah-olah di
atas kepala mereka ada burung gagak [Kedua hadits di atas riwayat imam
Muslim (no. 2770) dan (no. 2128).].
Syubhat (kerancuan/pengkaburan) seputar masalah hiasan pada pakaian wanita
Ada beberapa syubhat (kerancuan) yang dijadikan pegangan sebagian
kalangan yang membolehkan hiasan yang berupa bordiran, renda, motif dan
lain-lain pada pakaian wanita, di antaranya:
1. Syubhat Pertama:
Hadits Ummu Khalid bintu Khalid Radhiyallahu anha yang terdapat dalam
shahih imam al-Bukhari [No. 3661 dan no. 5485.], bahwa Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dibawakan kepada beliau sebuah baju kecil
berwarna hitam yang bermotif hijau atau kuning, dari negeri Habasyah,
kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memakaikan baju
tersebut kepada Ummu Khalid Radhiyallahu anha dan beliau bersabda:
“Wahai Ummu Khalid, baju ini sanaah (bagus)”.
Jawaban atas syubhat ini:
Pemahaman yang benar tentang ayat al-Qur’an dan hadits Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam harus dikembalikan kepada para ulama salaf
dan para imam yang mengikuti petunjuk mereka.
Kalau kita merujuk kepada keterangan imam Ibnu Hajar al-‘Asqalani
[Dalam kitab “Fathul Baari: (10/280).] maka kita tidak dapati seorang
ulamapun yang mengisyaratkan, apalagi berdalil dengan hadits ini untuk
membolehkan pakaian berhias motif bagi wanita ketika keluar rumah.
Karena ternyata Ummu Khalid Radhiyallahu anhuma yang memakai baju ini
pada saat itu masih kecil, bahkan dalam salah satu riwayat hadits ini,
Ummu Khalid Radhiyallahu anha sendiri berkata: “(Waktu itu) aku adalah
gadis yang masih kecil…”. Kemudian dalam riwayat di atas terdapat
keterangan bahwa pakaian tersebut adalah baju kecil berwarna hitam.
Sebagaimana yang kita pahami bersama bahwa wanita yang belum dewasa
diperbolehkan memakai pakaian seperti ini, berbeda dengan wanita yang
telah dewasa.
2. Syubhat Kedua:
Atsar yang terdapat dalam shahih al-Bukhari [No. 1539.] dari ‘Atha’ bin
Abi Rabah tentang kisah thawafnya ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma di ka’bah.
‘Atha berkata: “Dia (‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, istri Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam) berada di dalam sebuah tenda kecil
(tempat beliau tinggal sementara selama di Mekkah) yang memiliki
penutup, tidak ada pembatas antara kami dan beliau Radhiyallahu anhuma
kecuali penutup itu. Dan aku melihat ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma memakai
pakaian muwarradan (berwarna mawar/merah)”.
Sebagian dari mereka yang berdalil dengan kisah ini menerjemahkan
ucapan ‘Atha’ di atas dengan redaksi berikut: Aku melihat ‘Aisyah
Radhiyallahu anhuma memakai pakaian berwarna merah dengan corak mawar.
Jawaban atas syubhat ini:
Sebagaimana hadits yang pertama maka untuk memahaminya dengan benar
harus dikembalikan kepada penjelasan para ulama yang menerangkan makna
hadits ini.
Imam Ibnu Hajar al-‘Asqalani [Dalam kitab “Fathul Baari: (3/481).]
menjelaskan makna ucapan ‘Atha’ di atas yaitu “pakaian gamis yang
berwarna mawar”, yakni berwarna merah.
Imam Ibnu Hajar juga menjelaskan bahwa ‘Atha’ bisa melihat ‘Aisyah
Radhiyallahu anhuma memakai pakaian tersebut karena waktu itu ‘Atha’
masih kecil, sebagaimana yang disebutkan dalam riwayat imam ‘Abdur
Razzak ash-Shan’ani bahwa ’Atha’ berkata: “(Waktu itu) aku masih kecil”.
Beliau juga menjelaskan bahwa ada kemungkinan ‘Atha’ melihatnya tanpa
disengaja.
Berdasarkan keterangan ini maka jelaslah bahwa kisah di atas sama
sekali tidak bisa dijadikan sebagai argumentasi bagi orang yang
membolehkan pakaian berhias motif bagi wanita ketika keluar rumah,
karena alasan-alasan berikut:
- ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma memakai pakaian tersebut di dalam tenda tempat beliau tinggal sementara dan bukan di luar rumah.
- Pakaian yang beliau kenakan berwarna merah dan bukan bercorak
mawar, kalaupun dikatakan bercorak mawar maka pakaian seperti itu boleh
dipakai di dalam rumah dan bukan di luar rumah.
- ‘Atha’ melihat ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma memakai pakaian tersebut
dalam keadaan ‘Atha’ masih kecil dan belum dewasa, ini tentu
diperbolehkan.
- Ada kemungkinan ‘Atha’ melihatnya tanpa disengaja, sebagaimana keterangan imam Ibnu Hajar di atas.
3. Syubhat Ketiga:
Ucapan sebagian dari mereka yang membolehkan hiasan yang berupa
bordiran, renda, motif dan lain-lain pada pakaian wanita bahwa pakaian
seperti itu sudah biasa di negeri kita sehingga sesuai dengan ‘urf
(kebiasaan) masyarakat setempat, sedangkan pakaian hitam/berwarna gelap
dan polos malah menarik perhatian di sebagian masyarakat di Indonesia.
Para ulama mengatakan hukumnya makruh jika kita menyelisihi ‘urf
(kebiasaan) masyarakat.
Jawaban atas syubhat ini:
Memang benar bahwa agama Islam memperhitungkan ‘urf (kebiasan)
masyarakat tapi pada perkara-perkara yang batasannya tidak dijelaskan
dalam syariah secara terperinci. Dan termasuk syarat penting
diperhitungkannya ‘urf dalam syariat adalah bahwa ’urf tersebut tidak
boleh menyelisihi dalil-dalil shahih dalam syariat [Untuk penjelasn
tentang ‘urf silahkan baca artikel “Pedoman Penggunanaan ‘Urf” tulisan
Ust Anas Burhanuddin, MA yang dimuat di majalah as-Sunnah edisi 09 thn
XV, Shafar 1433 H-Januari 2012 M.]
Maka syubhat di atas terbantah dengan sendirinya, karena dalil-dalil
syariat yang kami paparkan di atas dengan tegas dan jelas melarang
pakaian wanita yang dihiasi bordiran, renda, motif dan lain-lain.
Lagipula, kalau sekiranya ucapan/syubhat di atas kita terima tanpa
syarat maka ini mengharuskan kita membolehkan semua pakaian yang haram
dan menyelisihi syariat, hanya dengan alasan pakaian tersebut banyak dan
biasa dipakai kaum wanita di masyarakat kita, seperti pakaian-pakaian
mini yang banyak tersebar di masyarakat.
Bahkan dengan ini orang bisa mengatakan bolehnya tidak memakai jilbab
sama sekali karena terbukti wanita yang tidak berjilbab di masyarakat
lebih banyak daripada yang berjilbab, maka ini jelas merupakan
kekeliruan yang nyata.
Nasehat Dan Penutup
Seorang wanita muslimah yang telah mendapatkan anugerah hidayah dari
Allah Azza wa Jalla untuk berpegang teguh dengan agama ini, hendaklah
dia merasa bangga dalam menjalankan hukum-hukum syariat-Nya. Karena
dengan itulah dia akan meraih kemuliaan dan kebahagiaan yang hakiki di
dunia dan akhirat, dan semua itu jauh lebih agung dan utama dari pada
semua kesenangan duniawi yang dikumpulkan oleh manusia.
Allah Azza wa Jalla berfirman:
قُلْ بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُوا هُوَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ
“Katakanlah: “Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan
itu mereka (orang-orang yang beriman) bergembira (berbangga), kurnia
Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa (kemewahan duniawi)
yang dikumpulkan (oleh manusia)” [Yuunus:58]
.
“Karunia Allah” dalam ayat ini ditafsirkan oleh para ulama ahli tafsir
dengan “keimanan kepada-Nya”, sedangkan “Rahmat Allah” ditafsirkan
dengan “al-Qur’an” [Lihat keterangan Imam Ibnul Qayyim dalam kitab
“Miftahu daaris sa’aadah” (1/227).].
Dalam ayat lain Allah Jalaa Jalaaluh berfirman:
وَلِلَّهِ الْعِزَّةُ وَلِرَسُولِهِ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَلَكِنَّ الْمُنَافِقِينَ لَا يَعْلَمُونَ
“Dan kemuliaan (yang sebenarnya) itu hanyalah milik Allah, milik
Rasul-Nya dan milik orang-orang yang beriman, akan tetapi orang-orang
munafik itu tiada mengetahui” [al-Munaafiqun:8]
Dalam ucapannya yang terkenal Umar bin Khattab Radhiyallahu anhu
berkata: “Dulunya kita adalah kaum yang paling hina, kemudian Allah Azza
wa Jalla memuliakan kita dengan agama Islam, maka kalau kita mencari
kemuliaan dengan selain agama Islam ini, pasti Allah Azza wa Jalla akan
menjadikan kita hina dan rendah” [Riwayat al-Hakim dalam “al-Mustadrak”
(1/130), dinyatakan shahih oleh al-Hakim dan disepakati oleh
adz-Dzahabi.]
Semoga Allah Azza wa Jalla menjadikan tulisan ini bermanfaat dan
sebagai nasehat bagi para wanita muslimah untuk kembali kepada kemuliaan
mereka yang sebenarnya dengan menjalankan petunjuk Allah Jalaa Jalaaluh
dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam agama Islam.
وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
Kota Kendari, 7 Sya’ban 1433 H
Abdullah bin Taslim al-Buthoni
Sumber: Majalah As-Sunnah dan dipublikasikan ulang oleh
www.salafiyunpad.wordpress.com