Minggu, 31 Agustus 2014

Mengasah Empati Mengikis Ego Diri

Uwais al-Qorni, seorang tabi'in yang mulia, dan keshalihannya telah di isyaratkan oleh Nabi Shallahu'alaihi Wasallam, seorang ahli ibadah, namun juga sangat perhatian terhadap nasib saudaranya. Saat tak ada lagi sesuatupun yang dimilikinya, sementara masih ada orang-orang yang hidup menderita, beliau berdo'a, "Ya Allah, saya memohon udzur kepada-Mu hari ini, lantaran tidak mampu memberi pakaian kepada orang yang tak punya pakaian. Tidak ada lagi makanan yang dirumahku selain apa yang telah berada dalam perutku, dan aku tidak memiliki apa-apa lagi selain apa yang menempel ditubuhku." Padahal, ketika itu yang menempel di tubuh beliau hanyalah sehelai baju yang telah usang.
Begitulah tanggung jawab yang dirasakan Uwais sebagai seorang muslim. Tidak cukup hanya bersemboyan, "Yang penting aku tidak merugikan orang lain, tidak mengganggu, atau mencelakainya." Tak cukup hanya itu. Tapi, manfaat apa yang bisa ia berikan kepada saudaranya muslim yang membutuhkan. Islam menganjurkan ummatnya memiliki perhatian terhadap nasib saudaranya.

Dengan akhlak seperti ini, dakwah mudah diterima, ikatan ukhuwah semakin erat dan kekuatan menjadi kokoh.

Berbeda dengan sikap ananiyah (individualis/ egois), masa bodoh, tidak menjaga perasaan orang lain dan hanya mementingkan diri sendiri. Dia ingin diperhatikan, namun enggan memberi perhatian. Sifat ananiyah, kalaupun tidak secara langsung menimpakan gangguan terhadap orang lain, namun berpotensi menumbuhkan bibit kedengkian. Dari kedengkian akan muncul kebencian, lalu perpecahan. Ujung-ujungya, kelemahan kaum muslimin dan penguasaan musuh atas mereka. Karena itu, Islam menghasung ummatnya untuk empati, sekaligus memberikan perhatian kepada saudaranya muslim, dari hal yang kecil hingga pada perkara yang besar dan mendesak. Nabi Shallallahu'alaihi Wasallam menyangsikan keimanan seseorang yang tidak peduli terhadap nasib yang dialami saudaranya. Beliau Shallallahu'alaihi Wasallam bersabda,
مَا اَمَنَ بِيْ مَنْ بَاتَ شَبْعَانا وَجَارُهُ جَائِعٌُ إِلَى جَنْبِهِ وَهُوَ يَعْلَمْ بِهِ
 "Tidak sempurna iman seseorang  kepadaku yang bermalam dalam kondisi perutnya kenyang, sementara tetangganya kelaparan disisinya dan ia mengetahuinya." (HR. ath-Thabrani dan al-Bazar).

Salam, Bukan Basa-Basi
Bentuk perhatian pertama terhadap sesama muslim adalah dengan menyebarkan salam. Anjuran Nabi Shallallahu'alaihi Wasallam, "Sebarkanlah salam diantara kalian", adalah kalimat yang memiliki kandungan makna yang dalam, cakupan yang luas, dan mengandung konsekuensi yang tidak sederhana. Bukan sekedar pemanis bibir, atau basa-basi yang tidak berarti apa-apa. Ungkapan ini mengandung pengertian bahwa dia betul-betul suka jika saudaranya dalam keadaan selamat dan tulus berharap untuk itu. Ini menuntut dirinya menjaga darah, harta dan kehormatan saudaranya.

Sufyan bin Uyainah Radhiyallahu'anhu menafsirkan makna salam, "Orang yang menyapa "Assalamu'alaikum", berarti dia mengatakan, "Engkau selamat dari gangguanku dan aku selamat dari gangguanmu, begitu juga dengan jawabannya". Maka tidak sepantasnya jika kedua pihak yang saling mengucapkan salam tersebut saling menggunjing dibelakangnya dengan sesuatu yang tidak layak, baik berupa ghibah atau selainnya."

Apalagi jika pertemuan antara dua orang yang muslim diawali dengan salam dan disertai dengan jabat tangan, niscaya dosa keduanya dihapus sebelum keduanya berpisah, sebagaimana telah disebutkan didalam hadits yang shahih.

Tahaadu Tahaabbu
Disamping do'a keselamatan yang sekaligus berupa ikrar untuk tidak saling mengganggu, saling memberikan hadiah adalah bukti adanya perhatian, juga sarana menjalin kasih sayang sesama muslim. Karena itu, Nabi Shallallahu'alahi Wasallam memberikan motivasi, "Tahaadu.. tahaabbu..", Hendaknya kalian saling memberikan hadiah satu sama lain, niscaya kalian saling mencintai. Janganlah kita menganggap remeh pemberian, meski sedikit. Karena maslahah yang didapat bukan saja dari sisi materi, tapi secara maknawi lebih berarti.

Nabi   صلّى الله عليه وسلّم berpesan kepada kaum wanita,
يَانِسَاءَ الْمُسْلِمَاتِ، لَاتُحْقِرَنَّ جَارَةٌُ لِجَارَتِـهَا وَلَوْ فِرْسِنَ شَاةٍِ
"Wahai wanita-wanita muslimah, janganlah sekali-kali seorang menganggap remeh untuk memberikan hadiah kepada tetangganya walaupun hanya dengan sepotong kaki kambing." (HR. Bukhari da Muslim).
Bahkan, jika kita memasak suatu masakan  yang berkuah, memperbanyak kuah lebih baik, agar manfaat bisa dirasakan  oleh banyak orang. Seperti pesan Nabi صلّى الله عليه وسلّم yang ditujukan kepada Abu Dzar al-Ghifari.  
Tujuan hadiah bukan sekedar manfaat materi yang dirasakan, namun juga pengaruhnya secara maknawi. Meski tidak seberapa, hadiah akan menumbuhkan cinta dan persaudaraan. Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani رحمه الله dalam Fathul Baari menyebutkan hadits A'isyah Ummul Mukminin Radhiyallahu'anha yang diriwayatkan oleh Ath-Thabrani,
يَانِسَاءَ الْمُؤْمِنِيْنَ، تَهَادُوْا وَلَوْ فِرْسِنَ شَاةٍِ، فَإِنَّهُ يُنْبِتُ الْمُوَدَّةَ وَيُذْهِبُ الضَّغَائِنَ
"Wahai istri-istri orang yang beriman, hendaknya kalian saling memberikan hadiah, hanya dengan sepotong kaki kambing, karena hal itu akan menumbuhkan rasa cinta dan menghilangkan  kedengkian." (HR. Thabrani).
 i
Ada pula riwayat yang menakjubkan perihal antusiasnya para sahabat dalam memberikan hadiah. Al-Waqidi meriwayatkan sebuah atsar dari Abdullah bin Umar Radhiyallahu'anhuma, "Salah seorang dari Sahabat Rasulullah صلّى الله عليه وسلّم menghadiahkan sepotong kepala kambing kepada seseorang. Orang itupun berkata, "Saudaraku si fulan lebih berhak menerima ini, ia sangat membutuhkannya, kemudian kepala kambing itu dihadiahkan kepada orang yang dimaksud ia juga mengatakan, " Berikan ini kepada saudaraku si fulan karena ia lebih berhak menerimanya". Selanjutnya si fulan itupun menghadiahkannya kepada yang lain dan demikian seterusnya hingga kepala kambing tu sempat diterima oleh tujuh keluarga dan akhirnya kembali kepada orang yang pertama memberikannya.

Membantu Kesulitan Saudaranya
Hadiah diberikan kepada saudaranya, meskipun itu berupa sesuatu yang tidak terlalu dibutuhkan. Lalu, bagaimana jika ternyata ada saudaranya muslim yang terdesak kebutuhan, atau sedang mendapatkan kesulitan? Tentu, anjuran Islam untuk menolong makin kuat ditekankan. Nabi صلّى الله عليه وسلّم menjanjikan, siapapun yang mengentaskan penderitaan saudaranya, ia akan terhindar dari kesulitan yang paling besar, 
 
مَنْ كَانَ فِي حَاجَةِ أَخِيهِ كَانَ اللهُ فِي حَاجَتِهِ وَمَنْ فَرَّجَ عَنْ مُسْلِمٍِ كُرْبَةًَ فَرَّجَ اللهُ عَنْهُ بِـهَا كُربَةًَ مِنْ كُرَبِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

"Barang siapa yang mencukupi kebutuhan saudaranya, niscaya Allah akan memenuhi kebutuhannya, dan barangsiapa yang melepaskan satu kesusahan yang dialami saudaranya muslim, maka Allah akan menghindarkannya dari satu kesusahan dihari kiamat. (HR. Muslim).

Membantu bisa dalam bentuk memberi, bisa pula meminjami. Bahkan dalam beberapa hal, memberikan pinjaman lebih utama daripada memberi. Ibnu Majah dalam Kitab as-Shadaqah meriwayatkan sebuah hadits.
"Pada malam Isra', aku melihat diatas pintu jannah (syurga) tertulis pahala sedekah sebanyak sepuluh, sedangkan memberikan pinjaman diberi pahala delapan belas. Maka aku bertanya kepada Jibril, "Kenapa memberikan pinjaman lebih utama daripada bersedekah?" Jibril menjawab, "Karena orang yang meminta sesuatu, bisa jadi telah memilikinya, namun orang meminjam, tidaklah ia meminjam kecuali karena sangat membutuhkan." (HR. Ibnu Majah).

Tenju saja hadits ini menjadi motivasi kita untuk memberi kemudahan pinjaman bagi orang yang berhutang, bukan mendorong kita untuk gampang berhutang. Masing-masing harus saling menjaga dan pengertian. Jika tidak, saling curiga, saling benci dan perpecahan tinggal menunggu waktu. Bayangkan, jika yang satu mudah memberi pinjaman, lalu dimanfaatkan oleh orang yang gampang berhutang. Atau sebaliknya, ada orang yang sangat membutuhkan, namun  yang memiliki harta menaruh curiga, atau pura-pura tidak tahu, tentu jalinan ukhuwah tak akan bertahan lama.

Untuk itulah, disamping memberikan motivasi bagi yang mendapat rezeki untuk memberikan pinjaman, syari'at juga mengancam orang yang menyalahgunakan kepercayaan dan kelonggaran saudaranya. Nabi صلّى الله عليه وسلّم bersabda,  "Barangsiapa meminjam harta orang lain dengan maksud mengembalikannya, maka Allah akan membantunya untuk dapat mengembalikannya, maka Allah akan mengembalikannya, dan barangsiapa yang meminjamnya dengan maksud mengambilnya, maka Allah akan menjadikan harta itu ludes karenanya." (HR. Bukhari).

Ini dalil yang hendaknya dipegang oleh peminjam, sedangkan sebelumnya, adalah dalil untuk orang yang memiliki kelonggaran. Jika masing-masing terbalik dalam menggunakan dalil, niscaya ukhuwah terancam pecah. Nas'alallahal 'aafiyah. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jangan lupa komentarnya ya..!!