Minggu, 14 September 2014

Cuek, Bukan yang Terbaik

"Cuek is The Best", EGP = Emang Gue Pikirin,  Masa bodoh, bukan urusanku! Anda sering mendengar ungkapan ini?

Bisa jadi, itu hanyalah ungkapan biasa, sekedar bahasa gaul dan asal ngomong. Namun bisa pula, ungkapan-ungkapan ini memang lahir dari rahim individualisme yang mengekspresikan sikap tidak mau tahu, ketidakpedulian dan memetingkan diri sendiri (egosentris). Hari ini, pola pikir seperti ini seperti tengah mewabah. Sadar atau sadar, individualisme mulai banyak meresap dan menyusun karakter manusia-manusia modern akibat pengaruh lingkungan dan gaya hidup. Sehingga gaya dan prilaku mementingkan diri sendiri dan masa bodoh kian hari makin mengental.

Dalam persepsi manusia individualis, masing-masing orang memiliki kebebasan dan kepentingan sendiri yang terpisah dan bebas. Prinsip yang dipegang adalah, apapun yang dilakukan, yang penting tidak mengganggu orang lain dan biarlah masing-masing orang mengurus diri dan kepentingannya. Seperti itu pula yang dia harapkan dari orang lain, yaitu agar orang lain memikirkan diri sendiri dan tidak mengusiknya selagi apa yang dilakukannya tidak mengganggu. Individualisme juga tidak bisa lepas dari egoisme atau sikap mementingkan diri sendiri. Artinya, apa yang tidak penting dan tidak menguntungkan dirinya, bukanlah hal yang perlu mendapat perhatian.Akibatnya, kepekaan dan kepedulian sosial; terhadap orang lain maupun lingkungan, menurun dan semakin tumpul.


Ambil satu contoh, saat terjadi kecelakaan lalu lintas. Korban tergeletak terluka berdarah-darah. Dari sekian orang yang menyaksikan, ada yang segera menolong tapi lebih banyak yang hanya ikut berkerumun. Tapi tidakkah kita berpikir bahwa ada yang memang sengaja untuk tidak mendekat bahkan memilih pergi karena tidak mau menjadi saksi dan memperpanjang urusan  dengan polisi? Apalagi jika ternyata korban sekarat dan hampir mati.

Salah Parameter
Tidak mencampuri urusan orang lain dan membiarkan asal tidak mengganggu, dalam taraf tertentu memang tidak salah. Akan tetapi kebanyakan orang tidak tepat dalam membuat parameter "tidak mengganggu". Dalam persepsi mereka "tidak mengganggu" adalah tidak menimbulkan kerugian atau gangguan secara fisik maupun materi yang langsung mengenai mereka; hilangnya harta, bikin gaduh suasana atau tukang sebar fitnah sana sini pada mereka. Ukurannya terlalu sempit, hanya menyoal kerugian materi dan berbagai hal sifatnya duniawi. Sedang kerugian jangka panjang berupa kerugian ukhrawi dan masa depan tidak diperhatikan. Padahal yang kedua ini jauh lebih penting dan lebih layak mendapat perhatian.

Kesalahan dalam membuat parameter inilah yang mengakibatkan matinya semangat amar ma'ruf  nahi munkar. Maksiat apapun yang dilakukan orang lain, asalkan tidak merugikan dan menimbulkan gangguan secara materi maupun fisik, sikap yang akan dipilih adalah masa bodoh alias cuek. Padahal kemaksiatan dalam bentuk apapun, jika dibiarkan akan mengundang petaka yang akan mengenai pelaku dan orang-orang disekitarnya. Jadi bukankah hal ini juga "mengganggunya"?

Lain dari itu coba kita renungkan, lebih dalam. Mungkin kita memilih diam dan masa bodoh ketika melihat tetangga yang asyik bermesraan di depan rumahnya dengan pacarnya. Kita berfikir toh dia tidak mengganggu kita, harta kita tidak ada yang hilang atau rusak, kehormatan kita juga tidak tercemar secara langsung. Itu urusan dia. Tapi coba kita fikirkan, bagaimana jika anak-anak kita melihat dan mungkin melihat pemandangan seperti itu setiap hari. Apakah kita hanya akan mengatakan, "Ngak usah dilihat, Nak! itu dosa dan tidak baik"? bagaimana jika otak mereka merekamnya lalu menirunya?

Contoh lain Individualisme, egoisme sekaligus ketidakpekaan sosial yang cukup parah adalah merokok saat bersama orang lain. Ia mungkin merasa, toh uang-uang sendiri buat beli rokok, kalaupun sakit badan sendiri, juga tidak mengganggu. Buktinya tidak ada yang batuk, sesak nafas atau langsung sakit. Dan seperti itu sudah menjadi kebiasaan umum. Ego memuaskan diri sendiri dengan asap beracun  membuat persepsinya menjadi dangkal dan kepekaan sosialnya menjadi tumpul. Ia tidak berfikir bahwa meski tidak ada dampak langsung bagi orang sekitarnya, tapi asap beracun dari mulutnya akan merusak jasad mereka. Sebab perokok pasif menanggung resiko yang sama dengan si perokok. Terkadang ada sampai terbatuk atau menutup hidungpun si perokok masih saja cuek dan terus klepas-klepus. Demikian pula halnya dalam pekerjaan, seseorang karyawan misalnya jika berada dalam suatu perusahaan dimana seharusnya mengedepankan team work, saling terintreagasi, saling mendukung, membantu, dan peduli terhadap keadaan rekan kerjanya, namun akan berubah menjadi sebuah kehancuran dan kegagalan cita-cita serta kemajuan bersama jika sikap ananiyah (individualis/ egois), masa bodoh, dan tidak peduli terhadap kesusahan bahkan resiko yang akan dihadapi rekan kerjanya yang dikedepankan yang telah menguasai hatinya. Kebanyakan bersikap tidak peduli, dan mengutaman kepentingan diri sendiri seperti dengan ungkapan "yang penting kerjaan dan keinginan gue beres, walau harus menyusahkan dan menjerumuskan rekan kerjanya." Ia tidak menyadari  bahwa sebenarnya yang ia lakukan adalah kerusakan yang akan timbul dan dirasakan bersama.

Berakibat Fatal
Pola fikir individualis, cuek bebek dan egoisme akan mengikis empati dan kepedulian dalam diri. Melapukkan serat-serat ukhuwah, membunuh rasa kasih sayang dan menambah  lebar jurang perpecahan. Contoh kecilnya, saat seeorang terbaring sakit, dalam sudut hatinya ada keinginan agar teman dan saudara-saudaranya saling mengabarkan kondisinya lalu menjenguk. Dan ada sesuatu yang akan mengganjal jika ternyata banyak yang cuek dan tak ambil peduli. Dan bukan mustahil, ganjalan hati tersebut akan menjadi virus pemicu keretakan ukhuwah.

Dalam skala yang lebih besar, negara misalnya, individualisme dan egoisme akan memunculkan pejabat-pejabat negara yang serakah dan sangat masa bodoh. Padahal tugas utama pejabat aalah memperhatikan rakyat dan mengsejahterakan mereka. Lalu apa jadinya jika mereka malah menentingkan diri sendiri dan cuek terhadap nasib rakyat?

Belajar Empati
Demikian buruknya individualisme hingga beberapa nash syariat perilaku ini mendapat banyak kecaman. Sebaliknya syariat secara langsung maupun tidak mengajarkan agar ummat ini menjadi ummat yang peka, penuh empati dan tidak individualisme; anjuran menjenguk yang sakit, salam dan berjabat tangan, mengutamakan orang lain (itsar), memberi hadiah memudahkan orang yang punya hutang, sedekah dan lain sebagainya (lihat tulisan admin sebelum ini "Mengasah Empati Mengikis Ego Diri").

Karenanya marilah belajar menajamkan empati dengan mengamalkan berbagai hal diatas, atau bisa juga dengan berkunjung ke panti-panti asuhan, membantu langsung ketempat terjadinya bencana alam dan lain sebagainya. Semoga Allah menumbuh suburkan rasa empati dalam diri kita semua. Wallahua'lam..


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jangan lupa komentarnya ya..!!